Kamis, 31 Mei 2012

Not for Me

Lumayan kecewa juga ga keterima jadi staff sebuah kepanitiaan. Mungkin jawaban saya ketika wawancara nggak memenuhi kualifikasi tema acara tersebut.  Atau mungkin karena memang tidak berkualitas dimata pewawancara ya?

Saya bilang, " Saya pikir acara untuk tahun ini tidak hanya menekankan simbolisasi saja seperti tahun kemarin. Kenapa kita harus bersusah-susah membentuk huruf dengan ribuan massa, sedangkan itu sama sekali tidak membawa perubahan untuk kampus dan negara. Kenapa kita tidak mengalihkan pada hal-hal yang sederhana tapi jelas, seperti; membersihkan danau UI, melakukan penanaman pohon (yang dapat tumbuh) di lingkungan kampus."

" Untuk apa kita hanya membuang-buang waktu, tenaga dan biaya untuk memberikan pemahaman bela bangsa dan negara dengan hal-hal yang tidak sepenuhnya dimaknai oleh mahasiswa baru. Tahun lalu, membuat puisi; entitas tersebut memang bertujuan baik dengan tema "Cinta Indonesia". Tapi dibalik itu semua, apakah para maba (termasuk saya ketika itu), sudah memahami betul puisi yang secara "dipaksa" harus dibuat".

" Saya pikir untuk kegiatan tahun ini, kita harus meminggirkan hal-hal abstrak, menggantinya menjadi hal-hal konkrit. Untuk apa berteriak, " Hidup indonesia! Hidup mahasiswa" sampai suara serak, tapi kepedulian akan lingkungan sekitar (masih banyak pengemis, lansia terlantar, juga masalah sampah berserakan di danau dan jalanan kampus) masih minim."

Ah, apa mungkin kalimatku terlalu mengkritik kelemahan program tahun lalu ya? Atau ada pihak yang tersinggung akan kritikku tentang perbuatan simbolis tersebut. Yah, sudahlah~ Memang bukan tempatku untuk berkontribusi di kepanitiaan itu.

Tenang Umi, masih banyak wadah yang bisa kamu jadikan wadah untuk muntahan ide konservatif-mu.Semoga ada! AMIN!

Rabu, 30 Mei 2012

Film dan Selera Pasar



Malam ini, ada banyak hal yang ingin kubicarakan. Selama UAS, ia seakan mengendap-endap, bersembunyi entah dimana, menggumpal bersiap untuk meledak pada hari Kamis malam.
Kadang pikiranku sulit dikendalikan. Aku punya kebiasaan suka berpikir menerka, loncat kesana-kemari seperti kodok, sehingga kadang tulisanku tidak terstruktur dengan jelas.Kadang omonganku sangat cepat (kata teman-teman sebangsa dan setanah air) sehingga banyak yang salah mengerti akan pemahamanku.

Oke, itu sepintas tentang uneg-uneg hari ini.

Tadi ketika aku membaca koran bersama geng 3 Idiot (Nova dan Zikra) di lantai atas, koleksi 800, ada yang menarik perhatianku setelah sekian lama kuabaikan.Ada judul film yang dapat mengganggu saraf keseriusan orang, yaitu "Kakek Cangkul".

Sebelumnya sudah terjadi percakapan sebelum kejadian membaca koran ini.

" Tau nggak, kemarin kan ada judul bioskop namanya Suster Keramas, habis itu ada lagi yang judulnya Nenek Gayung, terus adalagi yang judulnya Kakek Cangkul".

" Besok ada yang bikin film horor judulnya Cucu Sabun, wkwkwk!", kata Zikra.

" Habis itu judulnya Cicit Odol! Hahaha...", timpal Nova.

" Hahaaaa. Emang ceritanya itu gimana sih Nov? Kok horor pakai bawa nama gayung segala?", tanyaku heran.

" Jadi gini, neneknya itu mati dibunuh sama gayung. Trus kalau mau hantuin, dia muncul di kamar mandi pas orang lagi mandi sambil nawarin "mau dimandiin sama nenek?". Trus orangnya mati deh gitu".

" Hah, kok aneh banget! Judulnya bikin ngakak deh~".

Yah, itu sekilas dialog nyata antara aku dan 2 sahabatku. Omongan itu langsung membuat otakku bekerja. Kepingan pikiran kemarin-kemarin yang berusaha kukumpulkan.

Seingatku, memang film horor Indonesia sudah diwarnai bumbu-bumbu lain sejak zaman aku masih SD. Film-film Suzana merupakan contoh nyata, dari film horor berbumbukan realita sosial, masalah ekonomi dan kriminalitas, juga beberapa kesalahan prosedur. Masih klise, berlandaskan hitam putih, mana yang baik mana yang jahat. Lalu hantu bisa diusir dengan membaca Qur’an, sampai dia kepanasan dan hangus. Dulu aku menontonnya dengan seksama sampai takut mau ke wc sendirian.
Ada sebuah film horor yang saya lupa judulnya apa, yang ketika itu saya ikut nimbrung nonton di laptop teman. Disana ada adegan Jupe lagi ketakutan ngeliat hantu, tapi bukannya hantunya yang dishoot malah si Jupe yang dominan dishoot. Haha~ kayaknya sutradaranya sakit jiwa nih. Orang nonton film horor kan untuk ngerasain adrenalin ketakutannya akan melihat hantu, lah ini malah si Jupe yang dishoot mulu. Ckckck~

Dan yang saya heran, banyak yang bilang bahwa film-film horor sekarang konyol semua, tidak ada yang berkualitas. Lalu kenapa tetap bermunculan film-film sejenisnya saat ini? Bukannya suatu produksi mengikuti selera pasar ya?

Saya jadi teringat cuplikan kata pengantar dari Goenawan Mohamad pada buku yang berjudul Utan Kayu. Begini dia bilang;

“ Tetapi tahun 1996-1998 juga sebuah periode ketika modal dan pasar kian lama kian menjadi pemain utama dalam percaturan sosial..... Karena desakan pasar yang tak terbendung, orang film Indonesia hanya melahirkan karya-karya yang semakin lama semakin dibuat asal-banyak dan asal-cepat. Karena dominasi pasar pula galeri-galeri hanya memasang karya yang sudah dipastikan laku, buku-buku yang “berat” tidak diproduksi, seni tari digiring untuk melayani pariwisata sementara pemain-pemain orkes yang bagus menghabiskan bakatnya di lobi-lobi hotel. Jangan mengharap untuk melahirkan yang “baru”( hal yang mengagetkan atau membingungkan) atau untuk menjelajah yang alternatif. Apalagi bila diatas pertimbangan pasar itu bekerja pula pengawasan negara: siapa yang bikin heboh akan dihabisi dan modal pun bisa rugi untuk mencoba-coba.”

Dan pernyataan Goenawan Mohamad terbukti akan film yang dibuat semakin asal-asalan saja. Entah judulnya yang kontroversial-lah (yang mengarah kepada ekspektasi lain), poster film yang dibuat asal jadi-lah, dan yang terpenting laku.

Negeriku tercinta ini, semakin kontroversial dia semakin laku. Jadi tidak jarang ada yang membuat kontroversi dulu, entah berantemlah, kasus skandal video-lah, kasus selingkuh-lah; lalu main film sebagai tokoh utama. Betapa jenaka-nya sistem disini.

Dan untuk masalah musik, yah lagi-lagi ada masalah penurunan kualitas selera. Budaya pop, lalu bercampur aduk dengan westernisasi dan koreanisasi seperti sekarang, berhasil menggusur kedudukan musik Indonesia menjadi sesuatu yang.... apa ya? Miskin talenta, miskin sense of art.

Ah, tiba-tiba aku jadi ingin mendengar lagu Chrisye dan Gombloh.

Senin, 21 Mei 2012

Terkunci


Suatu siang yang panas aku turun dari kamar, menuju keluar mencari makan. Kupikir aku tidak akan lama jadi kutinggal saja handphone dan lain-lain, hanya membawa uang secukupnya. Dan saat diwarung, entah kenapa jadi malas balik kekamar dan memutuskan makan ditempat.

Setelah menghabiskan sekitar 20 menit untuk menikmati makan, aku langsung menuju kosan. Ada sebuah pagar besi hitam yang kokoh yang jika kita ingin masuk, tinggal didorong. Dengan langkah gontai aku menuju gerbang besi seperti biasa dan mendorong pelan. Tidak bergerak. Aku tekan lebih keras, kupikir karatan jadinya harus lebih keras. Tidak bergerak, malah keras sekali tidak mau terbuka.

Aku terkunci.

Kuintip celah-celah gerbang besi itu yang menghadap langsung pos penjaga kosan. Disana tidak ada orang, tapi tv disana tetap menyala. Ah, mungkin Pak Djuned sedang shalat,pikirku mencoba untuk menenangkan diri. Aku memutuskan untuk duduk pasrah sambil menunggu Pak Djuned, penjaga kosan yang kutebak sedang shalat.

1 menit.

5 menit.

10 menit.

 Kawan, jika memang hari itu semilir anginnya, sesejuk udara di Malang ketika pagi hari mungkin aku tidak akan kalap untuk berteriak, " PAK DJUNED! PAAAAK! BAPAAAK!". Nihil. Bahkan tidak ada jawaban sama sekali. Panas udara Depok bisa cukup membuat orang stres, apalagi disiang bolong seperti itu. Tapi ini bukan masalah panas atau dinginnya udara. Bukan juga masalah sabar atau tidaknya, tapi aku merasa bodoh sebagai penghuni kosan yang terkunci dan tidak bisa masuk di kos sendiri. Aku dorong-dorong gerbang besinya. Aku ketuk-ketuk. Aku mencari kayu/besi yang mungkin bisa mencungkil kunci bagian bawahnya. Tidak ada hasil.

Aku jadi seperti anak pembangkang yang dikurung, meminta dibukakan pintu oleh ibunya. Aku bahkan berteriak supaya suaraku bisa didengar penghuni kosan lain jikalau memang mereka mau membantu membukakan pintu. Aku mendongak keatas, apakah ada kemungkinan untuk memanjat. Sama sekali tidak ada lubang untuk bisa loncat ke dalam.

Aku diam, merengut wajahku. Aku tidak bisa tinggal diam disini saja.
Pikiran itu melintas sejenak yang tanpa pikir panjang kulaksanakan.

Ketika awal mencari kosan aku sempat keliling daerah kukusan dan akhirnya masuk ke Pondok Green (nama kosan-ku sekarang) untuk melihat-lihat. Aku bertanya kamar yang maa saja yang kosong. Penjaga menjawab ada 3, salah satunya dibelakang. Dan itu merupakan kamar paling pojok yang menyeramkan. Disana aku sempat melihat sejenis pintu berwarna hijau yang sepertinya terhubung langsung dengan gang belakang.

Dengan bermodalkan tebak-menebak jitu ala Umi Fatia, aku berdiri ingin melaksanakan explorer mencari jalan tembus. Ada banyak jalan menuju Roma, pikirku polos. Dan ketika lagkah ketiga kuayunkan, tali sandalku putus -____-a.
Akhirnya dengan jalan nyeker ayam aku berjalan turun menuju daerah kukusan bawah. Orang-orang ada yang melihat, ada juga yang cuek. Toh, aku cuek saja. Aku tidak pakai alas kaki juga karena sandalku putus, bukan karena mau cari sensasi (sensasi darimananya cba :p ).

Ada kemungkinan 3 gang jawaban dari itu semua. Aku coba gang pertama, kakiku terinjak batu yang agak tajam. Rasanya sakit sekali. Ternyata jalan buntu yang berakhir dalam rumah dempet warga. Masih ada dua gang. Pasti salah satu gang itu adalah jawabannya.

Gang kedua, yang tidak tepat dibilang gang, karena itu adalah dua gedung besar yang memiliki spasi dan bisa dimasuki orang untuk lalu lalang. Dengan yakin aku masuk dengan kaki yang sakit sambil menenteng sandal yang berakhir dengan tembok berlumut. Tidak apa-apa, mungkin gang ketiga adalah jawabannya. Biasanya kalau dalam film-film atau novel misteri, pilihan ketiga atau pilihan terakhir merupakan jawabannya. Pasti di gang ini.

Gang ketiga, aku diam sebelum memasukinya. Antara yakin atau tidak dengan gang terakhir ini. Kali ini kepercayaan diriku sudah habis, aku seperti hampa dan putus asa untuk tidak masuk gang ini. Pasalnya gang ini ada gerbang yang sepertinya rumah orang, tapi tidak bisa juga disebut rumah orang. Aku pun masuk untuk mencoba lagi dan ternyata dugaanku benar. Itu memang rumah warga, bukan gang. Jalan masuk menuju rumahnya terlihat seperti gang.

Dengan lagkah gontai, aku kembali menanjaki jalan atas kukusan setelah petualangan mencari gang di kukusan bawah. Aku masih yakin bahwa ada jalan belakang, tapi aku belum ketemu.
Dalam perjalanan, aku tiba-tiba terpikir sesuatu. Dan sesampainya di kosan (dengan harapan sudah ada yang membuka gerbang) gerbang hitam kokoh itu masih seperti semula. Tertutup rapat.

Pikiranku masih menyimpulkan berbagai instrument kejadian barusan. Aku baru tersadar. Ini merupakan kepingan jawaban dari-Nya.

Kosan dianalogikan sebagai agama. Maka banyak sekali orang yang ingin masuk tapi tidak bisa, entah karena beberapa hal. Ada juga yang memang penghuni kos itu (seperti aku misalnya) yang saat itu mencoba keluar sebentar (baca: membangkang, menyimpang sebentar) dan ketika ingin masuk, maka susah sekali untuk masuk lagi dikarenakan dikunci dari luar. Padahal aku adalah penghuni tetap disana. Perlu perjuangan dengan berbagai macam rintangan. Bahkan jika perlu dalam perjuangan itu bisa dinilai dan dicemooh orang orang-orang (kasus: jalan nyeker seperti orang gila cari sensasi di kawasan mahasiswa).
Bisa saja salah masuk jalan, setelah memprediksi yang mana yang benar, tapi akhirnya malah tidak mendapatkan jawaban. Endingnya ya kita harus kembali kepada-Nya.
Berpasrah.

Ya, akhirnya saya pasrah akan renungan itu. Duduk selonjoran sambil memijat kaki yang terkena batu. Sekitar 10 menit kemudian bunyi gemericit gerbang terbuka. Ada seseorang yang mau keluar, aku melihatnya penuh harapan dan bernapas lega.

Dia berkata, " Kan bisa dibuka pakai besi yang digantungin deket gerbang. Tinggal ditarik aja, terus kebuka deh!". Aku hanya terdiam malu. Salahku memang jika tidak mengenali kos lebih jauh seperti seluk-beluk yang kelihatannya remeh, tapi tidak pernah kuperhatikan. Ini kuanalogikan sebagai "Kenalilah Tuhanmu, kenalilah agamamu".
Aku hanya bisa mengangguk berterima-kasih kepada mba yang membukakan gerbang itu.

Dan tepat saat mba itu mau pergi, Pak Djuned datang dengan motornya. Tapi aku keburu malu pada diri sendiri. Keburu ingin naik kekamar dan menangis karena malu telah menggerutu tidak jelas, padahal memang karena salah sendiri. Malu karena tidak mengenali lebih dalam. Malu karena sudah bersikap kekanak-kanakan dalam berpikir.

Rabu, 16 Mei 2012

Rayuan Gombal dan Dunia Pertelevisian


Rayuan gombal itu ibarat anggur buat perempuan. Memabukkan dan bikin teler. Jadi sebaiknya memang harus dihindari. Bukannya saya munafik atau menafikkan kenyataan wanita kadang senang diperlakukan seperti itu. Tapi akan berbeda halnya gombal yang berkualitas dengan gombal yang norak. Gombalnya Shakesspierre berbeda dengan gombalnya si Olga Syahputra. Dan yang perlu ditegaskan lagi adalah  gombal berbeda dengan pujian.

Sastra memang tidak jauh kasusnya dengan hal ini karena memang ada penggunaan kalimat yang sangat membantu para penggombal, seperti majas personifikasi, hiperbola dan majas perbandingan.
" Kau bagaikan bulan di gelap malam". (padahal bulan jerawatan) :p

" Wajahmu secantik bunga bangkai".
" Jika kau kaus kaki, aku jadi sepatunya." bau njir
Itu sih kasarannya.

Bagaimana dengan sekarang?

Rupanya negara ini sedang dilanda booming kesusastraan pop berselera rendah sejak tahun lalu. Mulai dari lirik-lirik lagu dari penyanyi pendatang baru (dan lama) sampai ada sebuah acara televisi yang berisi kegombalan yang dikompetisikan. Seperti;

A: "Kamu tau nggak kenapa pelangi bentuknya setengah lingkaran?"
B: "Enggak. Emang kenapa"
A: "Soalnya setengahnya berada dimatamu"
(Merapi meletus.....Duaaar!)

Saya jadi ingat tepatnya tanggal 4 Januari 2012, ada sebuah berita yang mengatakan Cina memangkas acara-acara televisi berselera rendah. Hu Jintao dengan tegas mengatakan untuk memusuhi serangan-serangan negara Barat yang berupa penjajahan budaya.   Otoritas penyiaran China yakin bahwa langkah memangkas program hiburan adalah hal penting demi memajukan layanan budaya kepada masyarakat dengan menawarkan program berkualitas tinggi.

Andaikata program penyiaran juga dikontrol oleh tangan-tangan yang semestinya (ditangan yang benar maksud saya), pasti kita akan melakukan hal yang sama seperti di China. Program televisi seperti acara kencan, kontes nyanyi-menyanyi, sinetron-sinetron yang terdapat adegan kekerasan didalamnya (yang semestinya tidak layak ditonton anak kecil). Diganti dengan program yang menayangkan tentang bela bangsa dan negara, acara yang menguras otak, tentang discovery alam Indonesia, jejak-jejak sejarah negeri dan hal-hal sejenis.

Sayangnya penyiaran di Indonesia masih mengandalkan selera pasar. Bahkan ada musisi yang dipaksa produser untuk mengikuti selera pasar, bukan berkarya sesuai dengan karsa, karya dan ciptanya. Nah, yang menentukan selera pasar adalah para pemirsa. Berarti pemirsa-lah yang memang harus pandai-pandai memilih tayangan yang bermanfaat. Sehingga acara-acara yang tidak berkualitas tersebut menurun ratting acaranya dan bubar. Bermunculanlah acara yang memang sesuai dengan kualitas tinggi untuk kemaslahatan bangsa dan negara.

Kalau kita membiarkan tayangan televisi berselera rendah seperti sekarang masih ditayangkan, contohnya seperti film silat yang ada adegan manusia kepala ular, ular kepala manusia, romantika si kaya dan miskin, hidup hedonis yang dipertontonkan secara gamblang; hemat saya (pinjam istilahnya Rahmat Gege :p ) kasihan masyarakat pedalaman yang berpendidikan rendah dan mengkonsumsi budaya pertelevisian secara gamblang dan memakan semua itu.

Dosen saya pernah bilang, jika masyarakat yang ada di pedalaman sana menelan secara bulat-bulat akan apa yang ada ditayangan televisi, maka akan terjadi perpindahan mindset akan hidup enak itu seperti apa. Remaja-remaja desa bukannya membangun daerahnya, malah sibuk memikirkan trend dan life style yang ditayangkan di televisi. Mungkin karena hal ini juga, banyak yang melakukan urbanisasi secara besar-besaran ke ibukota.

Eh, bentar-bentar! Tadi ngebahas tentang gombal ya?
Endingnya jadi ngebahas tentang dunia pertelevisian~ hehe. Loncat-loncat seperti kodok.
Ya sudahla, itu update blog saya dari perenungan dan semedi di Perpustakaan Teletubbies UI selama beberapa hari ini :p

Senin, 14 Mei 2012

Kalah Selalu


Malam ini aku berjongkok di atas tanah, mengambil batu berukuran sedang. Kuusap-usap supaya debu di badannya hilang. Malam ini, dengan ke-egoisanku, ia kupaksa untuk punya telinga dan mata karena aku mau cerita. Kenapa aku cerita pada batu? Karena sudah susah mencari orang yang terpercaya di muka bumi ini. Dan juga, karena ia tidak akan mengejekku, dia kan tidak punya mulut! Haha...

Mata batu berkedip-kedip. Aku dengan muka setanku memulai bicara,
" Kau tahu batu? Negeriku ini sudah tidak jelas lagi akan status sosial-nya. Aku sampai bingung membedakan satu dengan yang lainnya. Yang mana perempuan, mana laki-laki. Yang mana ibu, yang mana ayah. Yang mana preman, yang mana mahasiswa. Yang mana artis, yang mana bupati. Yang mana bandit, yang mana polisi. Yang mana tikus, yang mana cicak dan buaya".

" Dan yang paling membingungkan, jika memang tiba musimnya nanti adalah yang mana calon dewan dan yang mana badut? Sampai sekarang, aku suda sudah hampir kepala dua ini masih bingung membedakan", kataku sambil emosi kepada batu. Batu hanya berkedip-kedip.

" Nampang sana, nampang sini. Senyum sana, senyum sini. Pose dan penampilan pun berbagai macam~ ada yang mengepalkan tangan ke atas, ada yang berpose salaman. Dan penampilannya??! Amboi, seperti mau umroh saja. Padahal kelakuan juga suka ke rumah plesiran di Pembatuan sana".

" Padahal sudah periode lalu dia nampang seperti itu gambarnya di depan pasar Kamaratih. Tidak taunya hanya membuat hancur saja pasar rakyat itu. Dibangunnya hotel mewah supaya bisa nginap gratis. Tambah gendut perutnya, kongkalingkong kekenyangan. Tak malukah dia? Mengaku-ngaku membangun daerah, padahal yang ditumpuk hanyalah sampah. Anaknya yang dungu sekarang hanya duduk sambil bbm-an di Senayan sana. Padahal bikin skripsi saja tidak bisa. Itu yang mau memperjuangkan daerah di Jakarta?".

" Tapi saatnya bencana dan krisis datang, dia hanya berpidato dengan kata "sebaiknya kita", "seharusnya kita". Bla, bla, bla, bla~"


Aku menarik nafas sejenak. " Kau tau seberapa jauh kebusukannya? Sampai aku di Pulau Jawa inipun masih keciuman. Gusti, rasanya ingin membunuh saja mereka yang tambah gendut kesenangan karena joki. Muak!". Kulemparkan batu ke tanah lagi. Pergi, lagi. Meninggalkan realita akan daerahku yang KALah SELalu.