Minggu, 16 Februari 2025

Tentang Mencintai Diri Sendiri

Sedari kecil, seorang anak seringkali ditanyai oleh orang dewasa di sekitarnya, "happy ga?" atau "suka ga". Dari situ mungkin seorang anak terbentuk menjadi manusia yang selalu mencari kebahagiaan—pencapaian, pengakuan dan harapan orang lain terhadapnya. Bagi anak-anak yang baru bertumbuh itu, kebahagiaan bisa jadi dianggap sebagai tujuan akhir yang harus diraih dengan berbagai cara: nilai yang bagus, menang perlombaan, memiliki barang yang mahal dan status sosial yang dianggapnya keren. Pola ini berlanjut hingga ia dewasa, di mana kita sering merasa bahwa hanya kebahagiaanlah yang tidak boleh absen dari kehidupan ini.

Namun, kita manusia sering tersamarkan oleh beberapa hal, seperti kebahagiaan bukanlah hal yang konstan. Ada pasang surut, kegagalan, kehilangan dan tantangan yang harus dilalui terlebih dahulu—perasaan-perasaan yang malah membuat kita jauh dari rasa bahagia yang kita harapkan. Saya sering melihat status kawan-kawan saya di media sosial yang mengatakan, "Tuhan, bolehkah hidupku seperti ini saja? Aku tidak meminta lebih dari ini, aku merasa cukup, aku tidak butuh yang lebih lagi". Mungkin bukan cuma dia saja yang pernah memanjatkan doa seperti itu. Saya pun pernah saat berada dalam keadaan yang membahagiakan dan penuh rasa syukur. Ada ketakutan tersendiri ketika kebahagiaan yang kita kejar terasa sementara atau bahkan hilang.

Kita lupa bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dalam bentuk yang kita bayangkan, dan kadang kebahagiaan terbesar datang dari penerimaan diri dan rasa syukur atas apa yang ada dan apa yang akan ada untuk kita. 

Mencintai diri sendiri, dalam konteks ini, adalah mengubah pemahaman kita tentang kebahagiaan. Daripada melihatnya sebagai tujuan akhir hidup ini, kita bisa belajar untuk melihat kebahagiaan sebagai perjalanan penuh pembelajaran—termasuk hal-hal sulit di dalamnya. Mari melatih diri untuk merangkul hari-hari buruk, menerima ketidaksempurnaan, dan mengingat bahwa diri ini layak untuk dicintai, bahkan di tengah kegagalan hidup. Penerimaan seperti itu bisa jadi merupakan bentuk kebahagiaan yang lebih stabil dan tanpa rasa takut. 

Kebahagiaan sejati, mungkin, bukanlah yang datang dari luar, melainkan yang kita temukan ketika kita belajar menerima diri kita sepenuhnya. Ini adalah kebahagiaan yang tidak tergantung pada pencapaian atau pengakuan, tetapi pada pemahaman bahwa kita sudah cukup dengan segala kekurangan dan kelebihan kita.

Pernahkah kamu bahagia atas dirimu sendiri dan bukan apa-apa yang melekat padamu? 😌



0 komentar:

Posting Komentar