Jumat, 26 Oktober 2012

Perempuan dan Diam


Perempuan Berkalung Surban merupakan film yang tidak terlupakan buatku. Berkali-kali kutonton dan selalu memancing emosi. Mungkin sosok Annisa merupakan sosok yang sangat kurindukan dalam kehidupan.

Aku ingat dengan salah satu scene dimana Annisa berdialog dengan ibunya.

"Kenapa selama ini Umi hanya diam?"

" Diam bukan berarti tidak membela, Nissa. Ada hal yang kadang tidak bisa kita lakukan, seperti yang kita inginkan. Kita adalah perempuan yang hidup dalam kondisi yang tidak seimbang, seperti yang sering kamu bilang. Yang Umi lakukan cuma bisa diam. Mungkin kamu nggak setuju. Tapi pada waktu itu, sewaktu Umi melawan...hancur keluarga ini".

Sosok Nyai yang diperankan Widyawati sangat memperkaya emosi pada film ini. Itu lumayan cukup menggambarkan sikap wanita yang kuat dan tegar dengan mengambil "jalan pintas" yaitu diam.

Kakak pernah bilang, diam merupakan sikap tengah. Tidak menyalahkan juga tidak membenarkan. Diam adalah sikap yang paling aman.

Nenekku juga termasuk orang yang mengambil jalan tengah; diam. Mungkin pada saat jamannya, beliau hidup pada kondisi yang tidak seimbang juga lingkungan tempat beliau bertumbuh dan berkembang.

Dengan diam, nenek terus melanjutkan pendidikannya hingga sekolah guru, mengindahkan cibiran tetangga dan adik-adik perempuannya yang telah menikah muda. Dan dalam diam, nenek terus menjalani kehidupannya yang keras.

Tapi kupikir selamanya diam juga akan sakit. Seperti kelanjutan dialog di atas yang dikatakan oleh Annissa,

"...... tapi suatu saat juga Umi harus bilang, apa yang Umi rasakan, apa yang Umi pikirkan. Umi ga bisa selamanya diam aja".

Kurasa masa itu sudah lewat. Kondisi telah banyak berubah. Ada banyak pergeseran-pergeseran nilai yang telah terjadi pada generasi perempuan saat ini.

Semoga kelak ke depannya aku akan dapat selalu menyuarakan pendapatku tanpa harus mengorbankan keluarga yang akan kubina kelak.

Jumat, 05 Oktober 2012

Ladies First?


Dalam hidup ini, sebuah norma dan nilai telah disepakati dengan standarnya masing-masing di setiap wilayah. Wilayah satu dengan lainnya berbeda-beda tergantung hukum adat, letak geografis atau latar belakang sejarahnya tersebut. Negaraku, si tanah gemah ripah loh jinawi, Indonesa yang sudah merdeka dari kolonialisme ini yang memiliki penduduk; menurut data statistik mengatakan jumlah pria adalah 1:3 dari perempuan, mempunyai sebuah stigma masyarakat tersendiri dalam memperlakukan seorang wanita dewasa ini.

Entah darimana asalnya, mungkin Eropa yang mencanangkan program "Ladies First"-nya di Indonesia. Aku tidak tau kapan spesifiknya. Sejak zaman sebelum Kartini yang penuh diskriminasi akan status gender hingga kini yang disebut zaman modern, dimana (katanya) status gender itu dinilai setara tanpa harus membeda-bedakan.

Dibalik wajah para laki-laki yang mengaku sebagai egalitarian, pernahkah kalian mendengar, berpikir atau bahkan mengucap kalimat-kalimat di bawah ini:

"Ayo, mana nih cowonya? Masa yang daritadi maju, cewe-nya mulu di kelas ini.
"Idiih, masa mau kalah sama perempuan. Cewe-nya aja berani, masa cowo-nya engga"
"Ayo yang ngerasa cowo, bantuin cewenya angkat barang dong! Masa dibiarin gitu aja?".
"Kaya cewe aja lu pakai nangis!"
"Ngomong tu yang kenceng! Jangan kaya cewe dong~"
Atau
Lebih sering perempuan yang diajukan sebagai sekretaris.
Laki-laki harus macho, perempuan feminin.
Laki-laki yang keren itu adalah yang memegang prinsip Ladies First

Tanya kenapa?

Beberapa quote di atas memang sangat akrab di telinga kita sejak dulu. Bahkan seolah-olah sudah diinstal permanen baik pada pemikiran seorang laki-laki maupun perempuan. Dan ketika melanggar beberapa hal di atas, maka dikatakan tidak gentle, cowo banci, cewe tomboy, dan lain-lain. Sebuah konsekuensi yang bagiku sangat mengarah pada diskriminasi. Alih-alih ingin melindungi wanita, tapi terdapat makna degrading, merendahkan, di balik sikap gentleman itu.

Memangnya kenapa kalau perempuan yang dominan maju pada sebuah acara, seminar, tanya jawab atau apapun? Memangnya kenapa kalau laki-laki bisa kalah sama perempuan dalam sebuah kompetisi?

Bagiku kalimat “masa cowo kalah sama cewe” itu menandakan secara tidak langsung masih adanya anggapan bahwa seorang perempuan punya keberanian masih setingkat di bawah laki-laki. Bukti nyatanya adalah ketika perempuan menang atau dominasi perempuan lebih banyak dalam sebuah forum, lalu kaum laki-laki akan langsung dikompori untuk kembali merebut “predikat” yang bagiku sama dengan "dimana nyali kalian sebagai laki-laki?" seolah-olah jika perempuan yang maju ada yang salah dengan keberanian sang laki-laki. Memangnya kenapa kalau perempuan yang menang dan yang laki-laki kalah? Merasa superioritas kalian turun dengan menangnya kaum perempuan?
Masalah air mata. Seolah-olah sudah ditetapkan bahwa yang menangis itu hanya perempuan dan laki-laki tidak boleh cengeng. Hello! Memangnya air mata hanya bisa keluar dari pelupuk mata seorang perempuan saja? Memangnya kenapa kalau laki-laki menangis? Dosa?

Masalah angkat barang juga merupakan hal yang sangat kusayangkan. Dengan adanya kalimat “bantuin yang cewe angkat barang dong kalau merasa cowo” menandakan bahwa yang identik dengan beban fisik itu hanya urusan laki-laki, perempuan tidak. Entah apakah maksudnya ini berarti perempuan lebih lemah dibanding laki-laki sehingga harus terus dibantu atau memang laki-laki harus tampil sebagai superior sehingga harus terus ikut campur dalam kegiatan yang berbau fisik?

Ladies First? Dewasa ini kuperhatikan banyak juga orang yang memakai prinsip ini. Kalau diterjemahkan menjadi sebuah kalimat yang kaku; “perempuan yang duluan”. Masuk ruangan duluan, naik lift masuk duluan-keluar duluan, duduk di bus mempersilahkan perempuan (yang sebaya) duluan duduk dan masih banyak embel-embel perempuan yang duluan. Sikap mengistimewakan wanita?

Banyak orang menganggap bahwa ladies first adalah budaya yang santun dan menghormati wanita. Kesannya menghargai perempuan sehingga mereka patut diberikan tempat pertama di mana pun mereka berada. Kenyataannya, bagiku ini adalah judgement atas gagasan bahwa perempuan memiliki kapasitas setingkat di bawah laki-laki.

Jika konsep ladies first dilihat kembali; dalam sebuah minibus menuju Lebak Bulus, telah berdiri seorang pemuda selama lebih dari 30 menit (kursi bus penuh) dan seorang pemudi yang berdiri selama 5 menit. Beberapa saat kemudian ada penumpang yang turun. Pemuda mempersilahkan pemudi duduk dengan alasan “dia seorang perempuan, aku harus mengalah”. And she finally got the chair because she is a woman. Seolah-olah perempuan harus selalu "diberikan tempat" dengan cara laki-laki yang "mengalah".

Ah, aku kurang setuju dengan hal-hal itu. bagiku laki-laki dan perempuan memiliki hak dan potensi yang sama dalam menjalani sebuah kompetisi dan kesempatan secara sehat, cerdas dan setara. #Kecuali menggunakan prinsip ladie first untuk menggaet si wanita, itu lain urusannya.
Bagiku kalian sebagai laki-laki harus cerdas dalam memperlakukan seorang perempuan. Aku hormati dan hargai bagi para laki-laki yang ingin mengagungkan wanita dengan adanya rasa ingin melindungi. Aku benar-benar hargai itu. Tapi melindungi bukan berarti harus terus melayani dan mengalah kan? Lihatlah kapasitas seorang perempuan, jangan pernah remehkan karena Tuhan pun tidak pernah.

Beri kesempatan bagi para perempuan yang terlihat sanggup mengangkat kardus buku sendirian, mengangkat galon, mendorong lemari, mengganti ban mobil di tengah jalan, bisa pulang malam sendiri tanpa mengandalkan siapapun dan hal-hal lain yang bersifat macho.   

Gawat jika dengan perlakuan gentle para laki-laki tersebut, para perempuan akan menjadi manja dan terlena. Mereka seolah-olah menjadi merasa tidak dapat melakukan hal-hal tertentu yang berbau fisik tanpa laki-laki. Maka banyak sekali perempuan yang memakai alasan ketidakberdayaannya, air matanya, rengekan manjanya, rintihannya atau apapun yang dapat menggoyahkan iman kaum laki-laki untuk segera menolong.