Sabtu, 02 September 2017

Review Novel: Amba (2012)



Judul: Amba
Penulis: Laksmi Pamuntjak
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: cetakan keenam edisi baru 2017
Tebal: 577 halaman




*

Novel ini bercerita tentang Amba yang berjuang melawan takdir Mahabharata-nya. Ia mencari Bhisma, kekasihnya, yang terpisah setelah 40 tahun pada saat insiden September meletus di Yogya , kemudian ditangkap sebagai tahanan politik di Pulau Buru. Sebuah e-mail misterius mengabarkan Amba bahwa Bhisma telah meninggal dan dimakamkan di sana.

*

Kisah dalam novel ini sebenarnya sederhana jika disimplifikasi; seorang mahasiswi, punya tunangan, kemudian berselingkuh dengan dokter yang memiliki hubungan dekat dengan orang-orang kiri, mereka saling jatuh cinta, kemudian terjadi huru-hara 1965, terpisah, putus dengan tunangan karena hamil dan malu pada keluaga, dan kabur ke Jakarta. Done.

Well, membaca Amba tidak seperti itu.

Membaca Amba bukan tanpa kening berkerut. Bukan sejarah yang melatarbelakanginya, bukan pula karena alurnya, melainkan karena kedalaman diksi yang digunakan penulis untuk menarasikan suatu perasaan, yang terkadang banal. Novel ini ditulis dan beralur air yang mengalir pelan, tanpa ada paksaan pada pembaca untuk mengingat peristiwa yang sudah lalu pada tokoh dalam novel. Ia menawarkan berbagai kemungkinan dalam benak pembaca mengenai takdir dan pilihan-pilihan yang mendesak dan logis. Cinta keluarga yang tulus namun berjarak, dikotomi antara ideologi dan kenyataan pada masa kemelut politik tahun 1965, ironi, ambiguitas cinta dan kerumitannya, hingga surat-surat yang puitisnya tidak akan kita temukan di zaman sekarang—semua itu membuat novel ini begitu menarik, merah, namun sederhana.

*

Amba berparas cantik, tapi ia sadar bahwa ia harus bekerja lebih keras agar menarik. Tapi saat ia mulai besar, ia tersadar tak mudah menangguhkan nasib seperti itu di kota yang penduduknya ribuan itu. Baginya kecantikan memiliki dua sisi: di satu sisi kecantikan adalah anugerah; ia pemberi hidup menyanjung. Di sisi lain ia pembawa mala, terkutuk, dan menakutkan. Maka Amba memilih menjalin persahabatan dengan buku sehingga membuatnya dewasa dan kritis. Melalui buku ia memiliki gambaran ideal perempuan modern; berpendidikan, menjaga nilai-nilai dan moral, berkeluarga (walau telat menikah), dan memiliki karir. Setidaknya itu yang direncanakan bapak dan ibunya untuk masa depan Amba.

Amba, dengan segala keberuntungan dan keistimewaannya, memiliki bapak-ibu yang lebih menyayanginya dari adik kembarnya, Salwa; tunangan yang begitu santun dan mencintainya secara tulus dan santun (juga memiliki karir yang bagus), kuliah Sastra Inggris di UGM (yang pada saat itu jarang sekali ada perempuan yang kuliah di desanya), membangun ideal-self-nya selama bertahun-tahun, perlahan dan kokoh, setidaknya dalam benak Amba. Ia menjadi pribadi yang berbeda, pribadi yang “menata pikran dan dunianya dalam Bahasa lain, bukan Bahasa bapaknya”.

Tetapi seiring dengan berjalannya waktu, konsep ideal-self Amba terburai saat bertemu pria tertampan yang pernah dilihatnya seumur hidup, Bhisma. Ia dokter muda lulusan Universitas Karl Marx di Leipzig, borjuis perantau yang kemudian bersimpati pada kaum tertindas. Bhisma yang suka bercerita tentang dirinya. Bhisma seperti jatuh dari langit dan disediakan dewata untuk Amba. Mungkin untuk mengulang kisah Mahabharata Bhisma-Amba-Salwa yang berakhir sedih.

Benturan antara real-self dan ideal-self Amba menimbulkan kecemasan. Dalam buku “Kesehatan Mental 2” karya Yustinus Semiun, dikatakan pelopor humanistik-eksistensial berpendapat bahwa depresi terjadi apabila individu menyadari bahwa jurang antara real-self dan ideal-self tidak dapat dijangkau; karena itu, ia menyerah dalam kesedihan. Individu pada hakikatnya tidak berusaha mencapai aktualisasi diri, dan hal ini dapat menyebabkan depresi. Menyerah merupakan faktor penting dalam teori humanistik-eksistensial tentang depresi. Saat seseorang melepaskan tanggung jawabnya untuk berhenti menjadi “ada”, maka sama saja ia berhenti untuk hidup sebagai seseorang yang real. Kegagalan untuk berada merupakan suatu kematian simbolis, dan kematian itu bersama dengan pengakuan atas kematian aktual menyebabkan depresi.

Amba menyadari identitas dirinya sebagai sebuah masalah bagi orang-orang di sekitarnya. Saat tahu dirinya akan terlibat penangkapan, ia lari ke Jakarta dan mengadu nasib dengan benih Bhisma dalam perutnya. Saat menyadari bahwa ideal-self-nya hancur, bukannya menyerah dalam kesedihan dan terjebak dalam pencarian Bhisma yang berbahaya, Amba memilih pergi meninggalkan apa yang dimilikinya tanpa menolehkan kepala sedikit pun. Ia kembali membangun ideal-self-nya di Jakarta: menerima tawaran berkeluarga dengan Adalhard, melahirkan dan membesarkan anaknya, Siri, dan memiliki karir yang disenanginya, walaupun hatinya tetap milik Bhisma.

Apa yang bisa kita, perempuan, tiru dari sikap Amba?
Amba tidak pernah menyerah untuk menjadi ada.