Jumat, 30 Maret 2018

Review Film: Babies


“A baby is God's opinion that the world should go on.” 
― Carl Sandburg

Type: Film Dokumenter
Sutradara: Thomas Balmes
Durasi: 79 menit

Film dokumenter ini menceritakan kehidupan empat bayi dari negara yang berbeda. Adalah Ponijao (Namibia, Bayar (Mongolia), Mari (Tokyo), dan Hattie (San Fransisco), yang ditampilan sejak saat baru lahir hingga dapat berjalan. Keempat bayi ini tumbuh besar di lingkungan, budaya, dan kondisi keluarga yang sangat berbeda.

Scene dimulai dari Ponijao, seorang bayi yang lahir dari suku Himba di Opuwa, Namibia. Lingkungan tempat Ponijao lahir dapat dikatakan masih sangat primitif dan tentu saja unik. Di tempat tinggalnya tidak ada dokter, susu formula dan makanan bayi tambahan. Ponijao murni menggunakan alam dan interaksi dengan teman sebaya untuk memenuhi hasrat keingintahuannya.

Di Mongolia, ada Bayar, bayi pasangan nomaden Mongolia yang bekerja sebagi peternak. Bayar tinggal di padang sabana yang terhampar luas dengan langit biru yang membentang indah. Saat ibunya sedang mengurus ternak, Bayar ditinggal dengan kakaknya, Degi yang suka mengganggu. Sejak awal, Bayar sudah terbiasa berinteraksi dengan kucing, ayam dan sapi di lingkungannya. Karena daerah tempat tinggal Bayar sulit air, ia dan keluarga harus hidup efisien.

Di Tokyo dan San Fransisco, Mari dan Hattie hidup bersama ayah dan ibunya dalam nuansa perkotaan. Mari dan Hattie mendapat perawatan mapan ala bayi perkotaan, seperti senam perkembangan otak, berenang di kolam, bermain di taman, mengunjungi kebun binatang, dan bersosialisasi dengan bayi-bayi lain di sebuh perkumpulan. Mari dan Hattie adalah gambaran bayi mapan yang tercukupi kebutuhannya.

Dalam segi sosial, Ponijao dan Bayar lebih mandiri karena "dibiarkan" mengenali lingkungan dan alam sekitar. Ada adegan menggemaskan saat Ponijao didorong oleh teman sebayanya yang dibalasnya dengan sebuah gigitan dan atau adegan Bayar yang kerap diusili oleh kakaknya. Dapat dikatakan Ponijao dan Bayar adalah contoh anak yang "dibiarkan" bergaul dengan manusia lain tanpa adanya pengawasan ketat dari orangtua dan menjadikan mereka sebagai anak yang riang, mudah bergaul, dan cepat belajar. Berbeda dengan Ponijao dan Bayar, Mari dan Hattie dalam kesehariannya kerap diawasi oleh orangtuanya. Yang menarik adalah ada adegan di mana Mari terlihat frustasi dengan kumpulan mainannya dan tidak banyak berinteraksi dengan bayi lain.


Keempat bayi dalam film ini ditampilkan secara jujur, tanpa adanya campur tangan dari pihak lain, tanpa ada dialog panjang, hanya bayi, bayi dan bayi. Momen-momen menawan dari mereka pun tak luput dari perhatian, mulai dari saat lahir, membuka mata untuk pertama kali, menangis, tengkurap/tiarap, duduk, merangkak, berdiri dan berjalan. Film ini ingin mengatakan bahwa secara umum, perkembangan bayi di berbagai tempat sama. Yang membedakan hanyalah lingkungan dan situasi tepat mereka bertumbuh.

Proses pembuatan film dokumenter ini menghabiskan waktu sekitar dua tahun. Rata-rata ia akan berada di tiap-tiap keluarga selama dua minggu untuk merekam momen-momen tumbuh kembang mereka. Balmes mengambil gambar selama 45 menit setiap hari sehingga terkumpul video mentah selama 400 jam yang diedit menjadi film berdurasi 79 menit. Walaupun bayi-bayi ini belum sadar kamera, akan tetapi momen-momen yang ditangkap sangat lucu, unik dan juga mengharukan.


* * *

Menurut saya, walaupun kehidupan Ponijao dan Bayar tidak sebersih dan sebaik Mari dan Hattie, tapi mereka mendapatkan satu pelajaran yang paling mempengaruhi tumbuh kembang sebagai anak manusia, yaitu interaksi dengan alam bebas. Ponijao dan Bayar adalah contoh dari bayi yang dididik mandiri sejak dini. Mengandalkan insting, mereka menjadi bayi yang cepat belajar dan mudah bergaul. Ibu saya menamainya dengan istilah "anak alam", anak hasil didikan alam. Sedangkan bayi seperti Hattie dan Mari, walau memang tampak sekali sangat tercukupi kebutuhannya, perkembangannya lebih lamban dibandingkan anak alam karena kerap dibantu dan difasilitasi oleh kedua orangtuanya.

Dan saya menangkap pesan bahwa dalam kehidupan yang serba kekurangan sekalipun, kebahagian tidak akan pernah pelit menampakan wujudnya.

Selamat menonton :)

Kamis, 29 Maret 2018

Setelah Tiga Tahun Menikah


You are my today and all of my tomorrows. –Leo Christopher

***

Apa saja yang dirasakan setelah melalui 3 tahun usia pernikahan?
Well, banyak sih. Tapi setelah disaring jadi seperti ini .....


Menikah adalah berteman seumur hidup.  

So choose a partner who is good for you. Not good for your parents, your image, or even good for your bank account. Pilihlah partner hidup yang dapat membuat hidupmu penuh dengan segenap perasaan. 

Honestly, i choose him because he's someone who inspires me to complete myself. 

Awalnya kupikir menikah itu adalah mencari seseorang yang bisa melengkapi kekurangan kita. Ternyata bukan. Kakak memang suka baca buku dan sering kutanyai berbagai macam hal. Tapi dia bukanlah manusia sejenis Lucy yang bisa berubah jadi flashdisk itu 😁. Ada hal-hal yang juga tidak diketahuinya.  Kakak kerap menekankan bahwa aku sebagai istri, boleh melampauinya dalam bidang apa pun, termasuk karir dan akademik. 

“Hidup itu cuman sekali Mush, kamu harus menjalaninya dengan menjadi dirimu seutuhnya,” ujarnya di suatu hari saat kami mendiskusikan masalah hidup. 

Pernah juga ia mengkritisi postinganku di media sosial yang caption-nya kutulis “Menjadi tulang rusuknya”. Katanya, dengan menyetujui bahwa perempuan adalah tulang rusuk bagi laki-laki, maka ia sama saja merendahkan dirinya. Aku mengernyitkan dahi. “Kenapa?” ujarku bingung. “Tulang rusuk kan letaknya di belakang” jawabnya lugas.  

Kami sering berdebat. Kadang masalah sepele bisa jadi hal besar. Kadang perkataanku bisa kelewatan. Ia pun bisa begitu. Satu kata saja bisa jadi pertengkaran. Beda persepsi juga bisa menjadikan itu hari yang buruk. Apalagi kesalahpahaman. Rasanya jika sudah bertengkar bagaikan melewati padang semak belukar, di mana kakimu sakit sekali jika berjalan tapi tetap harus dilewati hingga mendapati jalan setapak. 

Tapi ada perjanjian yang pernah kami ikrarkan di awal pernikahan bahwa we are team, no matter how rude what you’ve  said to your spouse, he’s/she’s your life partner.  Jadi seringnya, sehebat apa pun kami marahan, berdamai dan berbaikan adalah pilihan terbaik. Tentunya setelah menenangkan diri dan emosi sudah stabil.

Dalam setiap ketidak-setujuan dalam pernikahan, satu hal yang aku pahami adalah pasangan kita adalah partner hidup kita, ia bukan musuh. Tugas kita adalah memenangkannya bersama dengan kepala dingin dan akal sehat, bukan saling mengalahkan sehingga terpecah.

Kakak tidak mau terlalu sering upload foto istri. Ini yang kadang bikin baper (haha...). He's not really understand with people nowadays who so often upload a picture which is showing their intimacy with their partner. So banal and actually look so pathetic if their real life is different with their postingan. Hidup kita ya cuman kita yang tahu.

Menikah adalah tentang bersyukur.

Aku sadar betul bahwa hidup itu harus membangun. Posisi keluarga kecil kami sedang dalam proses. Young, fresh graduate, big dream, one baby boy, tentunya harus bekerja keras. Kakak kadang bekerja siang-malam.  Mengajar, menulis, juga mengedit tulisan. Aku melakukan apa yang kubisa seperti design atau berjualan sandang secara offline. Berapapun hasil yang didapat harus disyukuri dan diatur sedemikian rupa sehingga bahan makanan dan kebutuhan pokok lainnya terbayarkan. Dan percayalah, arti syukur yang sebenarnya adalah saat digit di rekeningmu berkurang dan masih ada beras dan telur di rumah. 

Menikah adalah tentang menerima.

Dulu saat sebelum menikah, aku sudah memberitahu kakak bahwa aku bisa melakukan pekerjaan rumah tangga kecuali memasak. Saat itu, hal tersebut bukan masalah karena toh kami masih mahasiswa dan makan di warung. Kemudian setelah menikah dan tinggal serumah, aku memaksakan diri untuk mulai belajar memasak. Dan awal pernikahan pun diwarnai dengan nasi yang terlalu lembek, ikan gosong, ayam setengah mentah, dan lain-lain. Pernah saat bulan puasa, aku sudah bersemangat memasak berbagai macam lauk sahur tapi lupa memasak nasi. Jadilah kami makan dengan lauk. Aku meminta maaf pada Kakak karena tidak becus memasak. Kakak berkata tidak apa-apa dan terus makan. 

Kakak tidak cerewet jika urusan makan, kecuali saat ia demam. Ia selalu makan apa yang tersedia. Kadang aku tidak enak sendiri . Ia juga begitu sabar saat aku malas masak dan memintanya membeli lauk di warung (maafin aku ya Kak 😓).

Pernah kutanya, kenapa Kakak nggak marah kalau aku ga becus masak? Dia jawab bahwa saat kita belajar untuk menerima daripada berharap, maka kita nggak terlalu kecewa kan. Jleb. Itulah kenapa aku mau berusaha memasak dengan benar. (Alhamdulillah sekarang udah bisa masak pecak ikan, yeay! 😀)