Senin, 17 Agustus 2020

Sekolah Membunuh Kreativitas - Sir Ken Robinson: Sebuah Review


So, this morning I had a plenty time to watched (or heard) some podcast videos and I clicked "Do School Kill Creativity" by Sir Ken Robinson. Video itu ditayangkan pada bulan Februari, 2006 dan baru saya tonton tahun ini (kemana aja mi? 😂). 

Dalam pidatonya tersebut, Robinson memulai dengan sebuah pertanyaan:

"Apakah sekolah membunuh kreativitas?"

Hampir semua orang tertarik dengan dunia pendidikan karena mengena pada seluruh aspek kehidupan. Dalam hal ini, sekolah merupakan wadah untuk mentransfer ilmu pengetahuan di mana ada elemen guru, murid, sistem pembelajaran, nilai, dan indikator untuk mengukur kemampuan akademis. Menurut Robinson, sistem dan cara kerja sekolah dewasa ini telah membuat kreativitas dan imajinasi anak tidak berkembang. 

Secara alami, setiap anak memiliki curiousity atau rasa ingin tahu terutama saat ia menginjak golden age. Untuk melepaskan dahaga keingintahuannya, anak akan melakukan inquiry (penyelidikan) entah dengan cara apa pun seperti menyentuh, meremas, melempar, memasukkan benda ke dalam mulut, dan puncaknya adalah bertanya. Saat kecil ia belum takut melakukan kesalahan. Karena tidak takut gagal/salah itulah seorang anak belajar caranya merangkak, berjalan, berlari, dan berbicara--yang semuanya berawal dari tidak bisa menjadi bisa.

Dan saat anak-anak ini menginjak usia sekolah dan masuk ke dalam sistem pendidikan, mereka dituntut untuk menghindari kesalahan.  Di sekolah, melakukan sebuah kesalahan adalah sebuah kesalahan. Membuat salah dan menjadi salah mengakibatkan pelaku mendapat hukuman secara mental. Akibatnya, karena selalu menghindari kesalahan, anak-anak ini nantinya takut untuk mencoba hal-hal baru atau bahkan tidak dapat menemukan hal-hal orisinil dari pikirannya.

"Education system cause many highly-brilliant people think they're not"

Semua anak memiliki bakat. Tapi seiring dengan berjalannya waktu, akibat takut salah, anak-anak tersebut kehilangan kapasitasnya akibat stigma bahwa melakukan kesalah adalah suatu kesalahan. Padahal kesalahan merupakan suatu proses dalam pendapaian ide-ide baru.

Robinson mengatakan bahwa kesalahan seharusnya tidak distigmatisasi karena itu bagian dari proses pembelajaran. Jika seseorang tidak siap untuk salah, maka dia tidak akan pernah menemukan sesuatu yang orisinil. 

Misalnya dalam konteks sebuah karya seni. Sejak kecil kita diajari bahwa menggambar pemandangan adalah seperti ini:


Atau seperti ini


Cukup akrab kan di mata kita? Kenapa? 
Banyak kemungkinannya.

Bisa jadi sewaktu kita SD saat sesi menggambar, guru memberikan contoh gambar pemandangan itu seperti di atas. Ada gunung kembar, matahari di tengahnya, awan biru, jalan raya, dan sawah di pinggirnya. Kadang juga ada rumah di kaki gunung.

Bisa jadi formula gambar di atas adalah sebuah standar supaya dapat nilai bagus di mata pelajaran KTK. Standarisasi ini yang bikin seorang anak mati kreatifitasnya. 

Dia tidak berani menuangkan idenya secara bebas bahwa pemandangan itu tidak hanya seperti di atas. Dia takut menjadi berbeda dan tidak sesuai standar yang ditekankan lingkungannya bahwa menggambar harus sesuai pakem atau kaidah yang ada.

Itu sebuah contoh dalam bidang gambar-menggambar saat kita SD.

Bukti bahwa sistem pendidikan sekolah menstigma "salah" adalah diberlakukannya pilihan ganda pada soal ujian sekolah. Sedangkan porsi esai diletakkan di paling akhir lembar, itu pun cuma 5 soal yang menyuruh kita menyebutkan hal-hal yang sangat textbook. Saya juga dulu lebih senang mengerjakan soal pilihan ganda dibandingkan esai karena saya rasa di antara jawaban pilihan ganda, tentunya ada jawabannya di situ. Kita tinggal pilih mana yang menurut kita paling benar and that's it. 

Kita diajari untuk tidak mempertanyakan kenapa sesuatu itu benar dan salah. Apa alasan di balik jawaban benar itu. Soal pilihan ganda menumpulkan cara berpikir kritis seseorang. Aspek why dan how dipinggirkan oleh jawaban what. 

Dalam masyarakat, terdapat cara pandang yang hampir mirip di seluruh belahan dunia bahwa Matematika dan Bahasa dinilai lebih tinggi dibandingkan Humaniora, dan Humaniora lebih penting daripada Seni. Bahkan dalam Seni pun ada tingkatannya; Seni Musik lebih tinggi derajatnya dibandingkan Drama dan Seni Tari. Hasil pendidikan difokuskan pada apa yang terdapat pada kepala daripada tubuh mereka, yang mengarah pada tujuan akhir yaitu tingkatan tertinggi dalam ilmu pengetahuan, profesor/dosen.

Cara pandang ini terbentuk dalam rangka memenuhi kebutuhan industrialisme sehingga terciptalah sistem pendidikan seperti ini selama menjalani masa sekolah:
  1. Subjek/jurusan apa yang paling laku dan terpakai untuk bekerja.
  2. Kemampuan akademis menopang keberhasilan hidup.
Kedua hal di atas menjadi pandangan umum tentang pendidikan yang dipercayai khalayak ramai khususnya di era industri ini. Pandangan masyarakat terhadap kecerdasan  menjadi  terbatas dan konsekuensinya banyak orang yang sebenarnya brilliant, cerdas, dan sangat berbakat  tidak cocok dengan sistem di atas. 

Robinson melanjutkan,

"We have to radically rethink of our view of intelligence"

Ada beberapa masalah serius yang akan kita hadapi di masa depan:
  1. UNESCO mendata, dalam 30 tahun mendatang, orang yang menyelesaikan pendidikan jumlahnya akan lebih banyak dibandingkan sebelumnya. 
  2. Kemajuan teknologi mengarah pada substitusi pekerjaan yang selama ini dilakukan oleh manusia.
  3. Ledakan populasi dan inflasi akademis sehingga degree doesn't worth anything.
Masalah-masalah di atas akan menuntut kita untuk memikirkan kembali pandangan kita dalam melihat kecerdasan yang diverse/beragam, dynamic/dinamis, dan distinct/berbeda.

Kecerdasan itu beragam dan banyak macamnya. Mungkin yang akrab di telinga kita adalah daftar kecerdasan seperti di gambar bawah ini, but who knows? Dunia akan terus berkembang dan kecerdasan akan ada banyak lagi jenisnya seiring perkembangan teknologi dan zaman.



Kecerdasan itu dinamis. Kecerdasan seseorang tidak dapat dibatasi oleh indikator-indikator yang ada dalam test-test formal. Bahkan, seorang Einstein dan Alfa Edison dinilai bodoh saat mereka di sekolah dasar. Test-test formal hanya menilai kecerdasan seseorang pada saat itu, bukan kecerdasan sebulan atau sepuluh tahun ke depan. Kemampuan berpikir manusia bisa berubah dan berkembang seiring berjalannya waktu karena otak manusia sangat interaktif.

Kecerdasan itu berbeda. Masyarakat cenderung mengadopsi satu ukuran untuk kecerdasan. Sering banget Padahal kecerdasan adalah kumpulan kemampuan yang berbeda-beda. 

Pidatonya pun diakhiri dengan kalimat ini:

"Our education system has mined our minds in the way we strip-mine the earth for a particular commodity. And for the future, it won't serve us. We have to rethink the fundamental principles in which we're educating our children"

Sistem pendidikan saat ini telah membuat pikiran kita sejalan dengan sebuah jalur untuk memenuhi komoditas tertentu. Padahal hal tersebut tidak akan berguna bagi masa depan kita. Kita harus memikirkan ulang tentang prinsip-prinsip dasar dalam mendidik anak-anak di kemudian hari. Di masa depan kita perlu mengembangkan beberapa hal pada anak-anak; pertama, berpikir kreatif dalam menemukan ide-ide yang orisinil dan bernilai; kedua, kemampuan, di mana setiap anak harus mengenali apa kekuatan dan bakat mereka; dan ketiga, kepercayaan diri, percaya bahwa dirinya bisa melakukan apa saja dan mampu tanpa harus takut melakukan kesalahan.

Jadi, apakah sekolah membunuh kreativitasmu?