 |
| Sumber: Google |
 |
| Instastory tanggal 15/05 |
Tulisan ini saya adalah pertanggungjawaban saya atas instastory yang pernah saya buat pada Selasa, 15 Mei 2018. Instastory itu mendapatkan beberapa tanggapan seperti "Tidak. Sangat berbeda" atau "Apakah HT selama ini ada hubungannya dengan teroris? Perasaan kenalanku masih lurus-lurus aja", dll. Hal ini menggerakkan saya menulis relasi antara HT dan Terorisme. Tidak bijak jika instastory tersebut tidak dijelaskan secara lebih bertanggungjawab. Tulisan ini mencoba untuk itu.
.....
Aksi kerusuhan
di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, kemudian beberapa aksi pengeboman di Surabaya setelah tiga
hari berselang menjadi pembicaraan di media massa dan kalangan pengguna media
sosial. Berbagai dugaan adanya konspirasi beberapa pihak penting di Indonesia
menghasilkan berbagai macam opini publik. Opini saling menyindir, menyalahkan
dan merasa menjadi pihak yang paling benar, bertebaran di berbagai platform
media sosial. Dalam situasi yang mengkhawatirkan seperti ini, kita tidak tahu
harus siapa yang harus bertanggungjawab, harus memahami penyebab ini dari mana, atau
mengapa ini semua bisa terjadi.
Yasraf
Amir Piliang (YAP) dalam bukunya yang berjudul Hantu-Hantu Politik dan Matinya
Sosial (2003) mengatakan, aksi teror dalam wujud citranya kini menjadi sebuah global
spectacle (tontonan global). Tujuan utama terorisme memang bukan kehancuran
atau kematian itu sendiri, melainkan bagaimana kehancuran atau kematian
tersebut menjadi sebuah live stage-melalui media massa dan media
sosial. Semakin massal orang yang melihatnya, maka akan semakin dahsyat efek
ketakutan, kengerian, dan trauma yang ditumbulkannya. Saat efek ketakutan ini
berhasil merasuk dalam masyarakat sehingga menjadi trauma global, maka "aktor" di balik teror ini akan mendapatkan keuntungan politik yang lebih besar dari
peristiwa horor tersebut. Kematian dan ketakutan dijual demi memperoleh
laba politik.
Menurut
pengamatan saya di media massa dan media sosial, tidak sedikit pihak yang
memanfaatkan situasi ini untuk sekedar muncul atau melindungi diri. Kejadian
pengeboman di Surabaya beberapa waktu lalu telah mewujud menjadi shapping teror
atau pembentukkan kategori siapa yang teroris dan siapa yang bukan teroris
berdasarkan logika paralogisme (sesat berpikir), seperti “karena yang mengebom
bukan dari kelompok kami, maka kami jelas bukan teroris.”
YAP,
lebih lanjut menambahkan tentang adanya soft-terrorism, yaitu cara teror yang
halus, yang selama beroperasi, ia berlindung di balik baju perdamain, keadilan,
dan kemanusiaan global dan inilah yang dinamakan hantu-hantu terorisme.
 |
| Tweet Felix Siauw |
Saat membaca tentang Hantu-Hantu Terorisme ini saya teringat Hizbuttahrir (HT). HT adalah sebuah parpol yang berideologi Islam, bukan sebuah organisasi
kerohanian macam tarekat, bukan lembaga ilmiah, lembaga sosial apalagi lembaga
akademis. Parpol ini didirikan oleh Taqiyuddin Al Nabhani pada sekitar 1953 dan
pertama kalinya masuk ke Indonesia sekitar tahun 1972. Dengan menganut Islam
sebagai ideologi dan politik sebagai aktivitasnya, HT memiliki tujuan untuk
membangkitkan kembali umat Islam dari kemerosotan yang amat parah,
membebaskannya dari ide-ide, sistem perundang-undangan dan hukum yang mereka
nilai kufur, dan membebaskan dari dominasi negara-negara kafir dengan membangun Daulah Islamiyah dan
mengembalikan Islam kepada kejayaan masa lampau. HT jelas memiliki tujuan
politis dan ingin mengusung Negara Khilafah sebagai solusi dari permasalahan
yang terjadi di era global ini. Islam digunakan sebagai “alat” legitimasi
gerakan untuk memuluskan tujuan politis mereka.
Kelompok
ini menggunakan metode yang mereka yakini sebagai metode dipakai oleh Rasulullah. HT beranggapan bahwa umat
Islam sekarang hidup dalam Darul Kufur yang serupa dengan kehidupan di Mekkah
(sebelum hijrah ke Madinah) pada zaman Nabi. Dalam melakukan dakwah, HT
mempunyai beberapa tahapan.
1. Tahap
pembinaan dan pengkaderan
2.
Tahapan berinteraksi dengan umat, agar umat ikut memikul kegiatan dakwahnya
3. Tahap
pengambilalihan kekuasaan untuk menerapkan ajaran Islam secara menyeluruh
Lucunya, di Indonesia kelompok HT disalahpahami sebagai sekedar ormas biasa yang
bercita-cita menegakkan syariat Islam dan kalimat Allah. Dengan cita-cita
utopis mendirikan negara khilafah, HTI berhasil menjaring banyak anggota,
khususnya kaum Muslim urban, yang memiliki wawasan minim tentang Islam. Mereka
terpesona akan cita-cita penegakan syariat Islam sebagai solusi dari
pemasalahan politik, ekonomi, HAM dan lain-lain. Pun para tokoh HTI selalu
mencitrakan diri sebagai pembela kaum Muslim yang tertindas dari hegemoni dan
dzalimnya rezim sekuler-liberal. Bagi mereka demokrasi adalah sistem thagut dan
HARUS diganti dengan sistem pemerintahan khilafah versi mereka sendiri.
HT kerap
memproklamirkan diri sebagai kelompok pacifis atau kelompok yang cinta gerakan
damai dan nonviolence. Dengan visi “negara khilafah global” yang membentang
dari Afrika Utara sampai Asia Tenggara, HT membagi misinya menjadi tiga tahap seperti yang telah disebutkan di atas. Cara-cara yang dipakai HT masih sekedar rally, pengajian, demonstrasi, kampanye dengan selalu mengutip ayat-ayat Al-Qur'an atau Hadits Nabi dengan membawa serta simbol-simbol keislaman. Tapi ada hal yang perlu dilihat kembali saat mereka menyatakan diri tidak ada kaitannya dengan terorisme. Kita perlu melihat tiga tahapan HT itu dan mengkajinya lebih dalam,
Pada tahap pertama, HT menciptakan pembinaan dan pengkaderan. Well, dalam tahap ini bisa dibilang sebagai tahap pembentukan "kader inti" di mana anggotanya akan dibimbing, diarahkan, dan ditanami semangat perjuangan dan cita-cita pembentukan negara khilafah. Kader inti berfungsi sebagai agen penyebar kultur HTI dalam sebuah masyarakat. Kegiatan yang dilakukan biasanya bersifat ajakan pengajian, liqo, atau kajian sejarah peradaban Islam. Tidak sedikit pula yang menggunakan platform media sosial sebagai wadah untuk berdakwah dan menyebarkan semangat dan cita-cita HT ini. Mereka sangat militan dan loyal terhadap ideologi Pan-Islamisme.
Tahap kedua, setelah kader inti terbentuk dengan baik, mereka akan diberi tugas untuk berdakwah, kampanye, dan menyebarkan propaganda untuk meyakinkan kaum Muslim tentang cita-cita negara khilafah. Kader inti berinteraksi dengan umat, agar umat ikut memikul kegiatan dakwahnya. Mereka menyusup ke dalam media massa, media cetak, dan media sosial, kemudian menciptakan kesadaran baru kepada publik Muslim tentang keunggulan sistem khilafah dan betapa cacatnya pemerintahan demokrasi. Contohnya junjungan kaum Muslim Urban, Ust. Felix Siauw yang gencar sekali berdakwah melalui media sosial dan media cetak.
Tahap ketiga, yaitu pengambilalihan kekuasaan untuk menerapkan ajaran Islam secara menyeluruh. Inilah yang bisa dimaknai sebagai revolusi. Saat dukungan publik Muslim dirasa cukup banyanyak, HT akan melakukan perebutan kekuasaan dengan pengubahan politik dari "sekuler" menjadi model Khilafah. Proses transisi ini menurut mereka harus dilakukan dengan damai sesuai dengan syariat Islam yang nirkekerasan. Menurut HT, hanya seorang sosok khilafah yang boleh menyerukan jihad dalam pengertian berperang.
HT sangat berpotensi melakukan tindak terorisme pada saat tahapan ketiga. Tidak menutup kemungkinan mereka akan melakukan kudeta militer, jika sang khilafah memerintahkan untuk melakukannya. Ingat khilafah juga manusia, ia tidak profan dan memiliki hawa nafsu sebagai penguasa! Sejarah mencatat, tidak ada revolusi yang tidak menimbulkan pertumpahan darah. Akan ada banyak gencatan senjata, korban sipil, dan juga kerusakan alam yang parah akibat berperang. Saat proses kudeta militer yang gagal di Yordania (1968-1969) dan Mesir (1974), HT disinyalir terlibat. Dan kemudian ditanggapi dengan argumen intervensi militer adalah nusrah (pertolongan luar), walau mereka tidak ada kaitan langsung dengan organ militer.
Di Indonesia, HT memang belum terbukti melakukan tindak kekerasan fisik. Tetapi kehadiran kader-kadernya kerap menampilkan konten yang bersifat provokatif dan cenderung suka mem-vis-a-vis-kan elemen-elemen oposisinya. Misalnya Islam v.s Barat atau Khilafah v.s Demokrasi. Simplifikasi terhadap sejarah kekhalifahan, membuat kemasan Sistem Khilafah begitu profan sehingga terlihat menggiurkan. Untuk menggapai cita-citanya, kader HT kerap kali mempengaruhi simpatisannya untuk melakukan kekerasan, radikalisme, dan terorisme.Proses selanjutnya, orang yang sudah mengalami radikalisasi dan militansi ini, jika waktu dan momentum telah tiba, akan sangat mudah untuk dimobilisir dan digerakkan melakukan tindakan kekerasan. Inilah hantu terorisme; berlindung di balik baju perdamain, keadilan, dan kemanusiaan global, padahal sering menyebarkan ujaran provokatif.
Perlu dicatat, perlawanan wacana terhadap pemerintah RI, Pancasila dan Konstitusi UUD 45 merupakan kekerasan struktural dan ini selalu menjadi agenda HTI dalam aksi movement-nya. Kelompok HT memang secara terang-terangan mengecam tindak terorisme, tapi cara-cara dan cita-cita yang mereka perjuangkan mengarah kepada tindak terorisme. Dan konyolnya, mereka menggunakan demokrasi untuk menentang demokrasi itu sendiri. How funny, isn't it?
Akhirul
kalam, I strongly agree dengan pembubaran HT di Indonesia. Dengan dibubarkannya
organisasi ini, kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia setidaknya akan lebih terjaga.
Peace, Ummi.