Minggu, 16 Februari 2025

Tentang Mencintai Diri Sendiri

Sedari kecil, seorang anak seringkali ditanyai oleh orang dewasa di sekitarnya, "happy ga?" atau "suka ga". Dari situ mungkin seorang anak terbentuk menjadi manusia yang selalu mencari kebahagiaan—pencapaian, pengakuan dan harapan orang lain terhadapnya. Bagi anak-anak yang baru bertumbuh itu, kebahagiaan bisa jadi dianggap sebagai tujuan akhir yang harus diraih dengan berbagai cara: nilai yang bagus, menang perlombaan, memiliki barang yang mahal dan status sosial yang dianggapnya keren. Pola ini berlanjut hingga ia dewasa, di mana kita sering merasa bahwa hanya kebahagiaanlah yang tidak boleh absen dari kehidupan ini.

Namun, kita manusia sering tersamarkan oleh beberapa hal, seperti kebahagiaan bukanlah hal yang konstan. Ada pasang surut, kegagalan, kehilangan dan tantangan yang harus dilalui terlebih dahulu—perasaan-perasaan yang malah membuat kita jauh dari rasa bahagia yang kita harapkan. Saya sering melihat status kawan-kawan saya di media sosial yang mengatakan, "Tuhan, bolehkah hidupku seperti ini saja? Aku tidak meminta lebih dari ini, aku merasa cukup, aku tidak butuh yang lebih lagi". Mungkin bukan cuma dia saja yang pernah memanjatkan doa seperti itu. Saya pun pernah saat berada dalam keadaan yang membahagiakan dan penuh rasa syukur. Ada ketakutan tersendiri ketika kebahagiaan yang kita kejar terasa sementara atau bahkan hilang.

Kita lupa bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dalam bentuk yang kita bayangkan, dan kadang kebahagiaan terbesar datang dari penerimaan diri dan rasa syukur atas apa yang ada dan apa yang akan ada untuk kita. 

Mencintai diri sendiri, dalam konteks ini, adalah mengubah pemahaman kita tentang kebahagiaan. Daripada melihatnya sebagai tujuan akhir hidup ini, kita bisa belajar untuk melihat kebahagiaan sebagai perjalanan penuh pembelajaran—termasuk hal-hal sulit di dalamnya. Mari melatih diri untuk merangkul hari-hari buruk, menerima ketidaksempurnaan, dan mengingat bahwa diri ini layak untuk dicintai, bahkan di tengah kegagalan hidup. Penerimaan seperti itu bisa jadi merupakan bentuk kebahagiaan yang lebih stabil dan tanpa rasa takut. 

Kebahagiaan sejati, mungkin, bukanlah yang datang dari luar, melainkan yang kita temukan ketika kita belajar menerima diri kita sepenuhnya. Ini adalah kebahagiaan yang tidak tergantung pada pencapaian atau pengakuan, tetapi pada pemahaman bahwa kita sudah cukup dengan segala kekurangan dan kelebihan kita.

Pernahkah kamu bahagia atas dirimu sendiri dan bukan apa-apa yang melekat padamu? 😌



Start Over

Halo! 
Setelah beberapa waktu, saya akhirnya memutuskan untuk kembali menulis. Tidak peduli bagaimana pun, saya merasa saya harus kembali menumbuhkan kebiasaan tulis-menulis ini agar saya bisa merefleksikan diri saya menjadi orang yang lebih baik lagi. 

Jadi siapa pun yang baca, please enjoy my amateure writting 😉

Kamis, 01 September 2022

Pemuja Empirik

Manusia adalah makhluk teledor pemuja empirik. Telah banyak dikatakan petuah-petuah mengenai kehidupan agar dapat berjalan sebagaimana mestinya dan tanpa hambatan, serta nasehat untuk meminimalisir kesialan dan penyesalan di kemudian hari, namun kebanyakan dari kita justru abai sampai pada titik apa-apa yang dihindari akan terjadi pada kehidupan kita. 

Saat kecil, kita kerap mengabaikan perkataan orang tua seperti, "jangan lari-lari, nanti jatuh", "jangan kebut-kebutan, bahaya" atau "ayo makan, nanti sakit" dan setelah apa yang ditakutkan kejadian, kita menjadi lebih memahami dan waspada. Seorang anak akan tau sakitnya jatuh, bahayanya kebut-kebutan di jalan, atau perihnya lambung saat tidak makan. Namun, karena pada dasarnya manusia adalah makhluk yang menggunakan rasio-nya untuk berpikir, ia akan terus menantang dunia hingga batasnya. Itulah kenapa banyak yang mengulang kesalahan hingga batas tertentu sehingga ia benar-benar yakin akan suatu hal.




Senin, 17 Agustus 2020

Sekolah Membunuh Kreativitas - Sir Ken Robinson: Sebuah Review


So, this morning I had a plenty time to watched (or heard) some podcast videos and I clicked "Do School Kill Creativity" by Sir Ken Robinson. Video itu ditayangkan pada bulan Februari, 2006 dan baru saya tonton tahun ini (kemana aja mi? 😂). 

Dalam pidatonya tersebut, Robinson memulai dengan sebuah pertanyaan:

"Apakah sekolah membunuh kreativitas?"

Hampir semua orang tertarik dengan dunia pendidikan karena mengena pada seluruh aspek kehidupan. Dalam hal ini, sekolah merupakan wadah untuk mentransfer ilmu pengetahuan di mana ada elemen guru, murid, sistem pembelajaran, nilai, dan indikator untuk mengukur kemampuan akademis. Menurut Robinson, sistem dan cara kerja sekolah dewasa ini telah membuat kreativitas dan imajinasi anak tidak berkembang. 

Secara alami, setiap anak memiliki curiousity atau rasa ingin tahu terutama saat ia menginjak golden age. Untuk melepaskan dahaga keingintahuannya, anak akan melakukan inquiry (penyelidikan) entah dengan cara apa pun seperti menyentuh, meremas, melempar, memasukkan benda ke dalam mulut, dan puncaknya adalah bertanya. Saat kecil ia belum takut melakukan kesalahan. Karena tidak takut gagal/salah itulah seorang anak belajar caranya merangkak, berjalan, berlari, dan berbicara--yang semuanya berawal dari tidak bisa menjadi bisa.

Dan saat anak-anak ini menginjak usia sekolah dan masuk ke dalam sistem pendidikan, mereka dituntut untuk menghindari kesalahan.  Di sekolah, melakukan sebuah kesalahan adalah sebuah kesalahan. Membuat salah dan menjadi salah mengakibatkan pelaku mendapat hukuman secara mental. Akibatnya, karena selalu menghindari kesalahan, anak-anak ini nantinya takut untuk mencoba hal-hal baru atau bahkan tidak dapat menemukan hal-hal orisinil dari pikirannya.

"Education system cause many highly-brilliant people think they're not"

Semua anak memiliki bakat. Tapi seiring dengan berjalannya waktu, akibat takut salah, anak-anak tersebut kehilangan kapasitasnya akibat stigma bahwa melakukan kesalah adalah suatu kesalahan. Padahal kesalahan merupakan suatu proses dalam pendapaian ide-ide baru.

Robinson mengatakan bahwa kesalahan seharusnya tidak distigmatisasi karena itu bagian dari proses pembelajaran. Jika seseorang tidak siap untuk salah, maka dia tidak akan pernah menemukan sesuatu yang orisinil. 

Misalnya dalam konteks sebuah karya seni. Sejak kecil kita diajari bahwa menggambar pemandangan adalah seperti ini:


Atau seperti ini


Cukup akrab kan di mata kita? Kenapa? 
Banyak kemungkinannya.

Bisa jadi sewaktu kita SD saat sesi menggambar, guru memberikan contoh gambar pemandangan itu seperti di atas. Ada gunung kembar, matahari di tengahnya, awan biru, jalan raya, dan sawah di pinggirnya. Kadang juga ada rumah di kaki gunung.

Bisa jadi formula gambar di atas adalah sebuah standar supaya dapat nilai bagus di mata pelajaran KTK. Standarisasi ini yang bikin seorang anak mati kreatifitasnya. 

Dia tidak berani menuangkan idenya secara bebas bahwa pemandangan itu tidak hanya seperti di atas. Dia takut menjadi berbeda dan tidak sesuai standar yang ditekankan lingkungannya bahwa menggambar harus sesuai pakem atau kaidah yang ada.

Itu sebuah contoh dalam bidang gambar-menggambar saat kita SD.

Bukti bahwa sistem pendidikan sekolah menstigma "salah" adalah diberlakukannya pilihan ganda pada soal ujian sekolah. Sedangkan porsi esai diletakkan di paling akhir lembar, itu pun cuma 5 soal yang menyuruh kita menyebutkan hal-hal yang sangat textbook. Saya juga dulu lebih senang mengerjakan soal pilihan ganda dibandingkan esai karena saya rasa di antara jawaban pilihan ganda, tentunya ada jawabannya di situ. Kita tinggal pilih mana yang menurut kita paling benar and that's it. 

Kita diajari untuk tidak mempertanyakan kenapa sesuatu itu benar dan salah. Apa alasan di balik jawaban benar itu. Soal pilihan ganda menumpulkan cara berpikir kritis seseorang. Aspek why dan how dipinggirkan oleh jawaban what. 

Dalam masyarakat, terdapat cara pandang yang hampir mirip di seluruh belahan dunia bahwa Matematika dan Bahasa dinilai lebih tinggi dibandingkan Humaniora, dan Humaniora lebih penting daripada Seni. Bahkan dalam Seni pun ada tingkatannya; Seni Musik lebih tinggi derajatnya dibandingkan Drama dan Seni Tari. Hasil pendidikan difokuskan pada apa yang terdapat pada kepala daripada tubuh mereka, yang mengarah pada tujuan akhir yaitu tingkatan tertinggi dalam ilmu pengetahuan, profesor/dosen.

Cara pandang ini terbentuk dalam rangka memenuhi kebutuhan industrialisme sehingga terciptalah sistem pendidikan seperti ini selama menjalani masa sekolah:
  1. Subjek/jurusan apa yang paling laku dan terpakai untuk bekerja.
  2. Kemampuan akademis menopang keberhasilan hidup.
Kedua hal di atas menjadi pandangan umum tentang pendidikan yang dipercayai khalayak ramai khususnya di era industri ini. Pandangan masyarakat terhadap kecerdasan  menjadi  terbatas dan konsekuensinya banyak orang yang sebenarnya brilliant, cerdas, dan sangat berbakat  tidak cocok dengan sistem di atas. 

Robinson melanjutkan,

"We have to radically rethink of our view of intelligence"

Ada beberapa masalah serius yang akan kita hadapi di masa depan:
  1. UNESCO mendata, dalam 30 tahun mendatang, orang yang menyelesaikan pendidikan jumlahnya akan lebih banyak dibandingkan sebelumnya. 
  2. Kemajuan teknologi mengarah pada substitusi pekerjaan yang selama ini dilakukan oleh manusia.
  3. Ledakan populasi dan inflasi akademis sehingga degree doesn't worth anything.
Masalah-masalah di atas akan menuntut kita untuk memikirkan kembali pandangan kita dalam melihat kecerdasan yang diverse/beragam, dynamic/dinamis, dan distinct/berbeda.

Kecerdasan itu beragam dan banyak macamnya. Mungkin yang akrab di telinga kita adalah daftar kecerdasan seperti di gambar bawah ini, but who knows? Dunia akan terus berkembang dan kecerdasan akan ada banyak lagi jenisnya seiring perkembangan teknologi dan zaman.



Kecerdasan itu dinamis. Kecerdasan seseorang tidak dapat dibatasi oleh indikator-indikator yang ada dalam test-test formal. Bahkan, seorang Einstein dan Alfa Edison dinilai bodoh saat mereka di sekolah dasar. Test-test formal hanya menilai kecerdasan seseorang pada saat itu, bukan kecerdasan sebulan atau sepuluh tahun ke depan. Kemampuan berpikir manusia bisa berubah dan berkembang seiring berjalannya waktu karena otak manusia sangat interaktif.

Kecerdasan itu berbeda. Masyarakat cenderung mengadopsi satu ukuran untuk kecerdasan. Sering banget Padahal kecerdasan adalah kumpulan kemampuan yang berbeda-beda. 

Pidatonya pun diakhiri dengan kalimat ini:

"Our education system has mined our minds in the way we strip-mine the earth for a particular commodity. And for the future, it won't serve us. We have to rethink the fundamental principles in which we're educating our children"

Sistem pendidikan saat ini telah membuat pikiran kita sejalan dengan sebuah jalur untuk memenuhi komoditas tertentu. Padahal hal tersebut tidak akan berguna bagi masa depan kita. Kita harus memikirkan ulang tentang prinsip-prinsip dasar dalam mendidik anak-anak di kemudian hari. Di masa depan kita perlu mengembangkan beberapa hal pada anak-anak; pertama, berpikir kreatif dalam menemukan ide-ide yang orisinil dan bernilai; kedua, kemampuan, di mana setiap anak harus mengenali apa kekuatan dan bakat mereka; dan ketiga, kepercayaan diri, percaya bahwa dirinya bisa melakukan apa saja dan mampu tanpa harus takut melakukan kesalahan.

Jadi, apakah sekolah membunuh kreativitasmu?


Minggu, 01 September 2019

Ready or Not: Petunjuk Bagi Mereka Yang Kebelet Menikah




Apa yang kalian bayangkan saat mendengar kata 'menikah', 'nikahan' atau 'kawinan'? Biasanya yang kita bayangkan sebagai rakyat +62 kebanyakan adalah pesta perkawinan yang dihadiri tamu undangan (yang kebanyakan gak kamu kenal), wedding dress putih, bunga-bunga, sambutan dari keluarga baru yang ramah, dan juga romantisnya pasangan saat menjadi pengantin baru.

Berbeda dengan Grace. Di hari pertama pernikahannya dengan Alex Le Domas, anak bungsu dari keluarga Le Domas yang memiliki perusahaan mainan paling sukses di US. Perusahaan ini sangat terkenal dan sudah  dijalankan sejak tiga generasi. Alex baru berpacaran 18 bulan saat memutuskan untuk melamar Grace. Dan siapa yang bisa menolak untuk jadi bagian dari kerajaan Le Domas?

Untuk menjadi bagian dari keluarga Le Domas, Grace diwajibkan mengikuti inisiasi yang sudah menjadi tradisi, yaitu memilih satu permainan dari kartu yang harus diselesaikannya sepanjang malam sampai matahari terbit.



Saat mengambil kartu, Grace mendapat 'Hide and Seek', bermain petak umpet. Syaratnya hanya satu, jangan sampai ia tertangkap karena jika tertangkap, dia akan terbunuh. Awalnya Grace masih menanggapinya dengan tertawa karena dia pikir ini adalah sebuah lelucon keluarga kaya. Belum lagi sambutan ibu mertua dan ipar-iparnya yang hangat membuat Grace pikir kata 'membunuh/terbunuh' hanya gurauan. Grace diberi waktu sampai 100 detik untuk menemukan tempat bersembunyi. Dan permainan pun dimulai.....

Dan sesuai trailernya, Grace sangat baddas dengan gaun pengantin, sneakers, dan senapan lengkap dengan selempang pelurunya. Alih-alih pasrah, dia melawan dan balik memburu keluarga Le Domas. Samara Weaving (yang mirip banget sama Margot Robbie) memerankan Grace dengan sangat standout. Penampilannya di Ready or Not sangat remarkable dan iconic.

***

Ide human hunts di film ini cukup berbeda dengan film thriller yang lain. Mengingatkan kita akan film Get Out tapi dengan nuansa yang berbeda. Jujur aja, sebenarnya ini film lucu banget. Adegan-adegan sadis tertutupi dengan humor-humor satir dan terkesan bodoh dari orang-orang kaya di film ini. Sang Guilermo del Toro aja bilang di twitter-nya kalau film  ini lucu dan menyenangkan. 

Sangat disayangkan, trailer Ready or Not yang tersebar di media sosial itu revealed too much. Sebenarnya endingnya sudah ketebak sih. Trailernya sudah menceritakan hampir 70% film. 

Menurut saya film ini mau menjelaskan kalau marriage is a trap, once you got it, you can never out from it. Saat kamu memutuskan untuk menikah, kamu ga hanya nikahin pasanganmu, tapi juga keluarganya, berikut dengan tetek bengek yang mengikutinya, entah itu tradisi, kebiasaan, atau standar-standar yang menurutmu asing dan ga perlu. Ga ada jalan lain selain hadapi, adaptasi dan harus berani. Kalau ga tahan? Silahkan pergi  atau kabur.( *ps: ga sedikit pasangan luka batin gara-gara lidah mertua)

Bisa juga disambungin sama kenalilah calon pasanganmu dengan baik dan benar, berikut dengan keluarganya. Pacaran bertahun-tahun aja pas nikah bisa beda kelakuannya cuy! Kalau lagi in love dan buta, ya apa aja mau diterima. Tapi pas butanya sembuh, apa masih bisa tahan?

Apalagi kalau jalannya cuma ta'aruf seminggu. Kita mana tau kan kalau dia super anak mami, ga bisa benerin genteng, mental blocking, fatalis, psikopat atau pecinta S&M. Atau ideologi keluarga besarnya yang ga bisa kamu terima. 

Jadi, ga usah kebelet nikah ya gaes. Ini hidupmu, bukan hidupnya orang yang ngomongin kamu .

Sekian.

Minggu, 02 Juni 2019

Harapan

Keadaan mental seseorang akan diuji saat dia sudah merasa berbuat baik atau "berjasa" buat seseorang dan berharap dapat perlakuan yang sama,  tapi tidak sesuai harapan.

...

Kamis, 21 Februari 2019

Resep Bahagia

Source: Pinterest

Dalam novelnya Paulo Coelho yang berjudul The Alcemist, diceritakan ada seorang pemilik toko mengirim puteranya untuk mencari seorang yang paling bijak di dunia. Ia ditugaskan untuk bertanya tentang rahasia kebahagiaan.

Kemudian bocah itu mengembara, menyeberangi gurun selama empat puluh hari hingga sampailah ia di sebuah istana yang indah yang berdiri tinggi di atas puncak gunung. Dan di sanalah orang bijak itu tinggal.

Tanpa mencari orang bijak itu terlebih dahulu, bocah itu langsung saja memasuki ruang utama istana. Di sana ia melihat macam-macam kegiatan: para pedagang datang dan pergi, orang-orang berbincang di sudut-sudut, orkestra kecil memainkan musik yang lembut, dan ada sebuah meja yang dipenuhi piring-piring makanan terlezat yang ada di belahan dunia.

Di sebuah sudut ruangan, bocah itu akhirnya menemukan Si Orang Bijak. Si Orang Bijak sedang bercakap-cakap dengan setiap orang, dan bocah itu harus menunggu selama dua jam sebelum akhirnya dia mendapat perhatian orang itu.

Saat bertatap wajah dengan Si Orang Bijak, bocah itu langsung menjelaskan tentang alasan dia datang. Sayang sekali, Si Orang Bijak berkata bahwa dia tidak punya waktu untuk menerangkan rahasia kebahagiaan. Dia menyarankan anak itu untuk melihat-lihat istana dan kembali dalam dua jam.

"Sambil kamu melihat-lihat, aku ingin kamu melakukan sesuatu untukku," kata orang bijak itu. Ia menyodorkan sendok kecil berisi dua tetes minyak. "Sambil kamu keliling, bawalah sendok ini tanpa menumpahkan minyaknya.'"

Bocah itu mulai naik turun tangga-tangga istana, dengan pandangan dan fokus ke arah sendok itu. Satelah dua jam, dia kembali ke ruangan tempat Si Orang Bijak berada.

"'Nah, apakah kamu melihat tapestri Persia yang tergantung di ruang makanku? Apakah kamu melihat taman yang ditata pakar pertamanan selama sepuluh tahun itu? Apakah kamu memperhatikan kertas kulit yang indah di perpustakaanku?'"

Bocah itu menggeleng dan mengaku dia tidak memperhatikan apa-apa. Perhatiannya hanya tertuju pada minyak di sendok itu supaya tidak tumpah, seperti yang dipercayakan Si Orang Bijak kepadanya.

"Kembalilah dan perhatikan istanaku yang mengagumkan ini," kata Si Orang Bijak. "Kamu tidak boleh mempercayai seseorang kalau kamu tidak tahu rumahnya."

Dengan lega, bocah itu mengambil sendok tadi dan kembali menjelajahi istana. Kali ini dia memperhatikan semua karya seni di atap dan dinding-dinding. Dia melihat taman-taman, pergunungan di sekelilingnya, bunga-bunga yang indah, dan mengagumi selera Si Orang Bijak atas segenap hal yang ada di sana. Sekembalinya dia ke Si Orang Bijak, dia mengungkapkan secara terinci semua yang dilihatnya.

"Tapi mana minyak yang kupercayakan padamu?", tanya Si Orang Bijak. Memandang ke sendok yang dipegangnya, anak itu melihat minyak tadi telah hilang. "Baiklah, hanya ada satu nasihat yang bisa kuberikan padamu," kata Si Orang Bijak itu.

"Rahasia kebahagiaan adalah melihat semua keindahan dunia, dan tak pernah melupakan tetesan minyak di sendok.'"
____

"Tetesan minyak" memiliki banyak arti dalam cerita ini.

Pertama, saya memaknainya sebagai waktu. Waktu berlalu dan tidak pernah berhenti. Waktu bak primadona yang tidak pernah menunggu, ia berjalan dan melalui banyak hal dengan acuh. Waktu adalah alat keangkuhan Tuhan untuk mengingatkan setiap insan bahwa tetap Dia-lah yang berkuasa. Tak ada yang bisa menghentikan atau membuatnya mundur. Saking berharganya waktu, banyak orang mencintai, menyembah dan takut padanya.

Kedua, makna yang saya ambil dari frase "tetesan minyak" ini bermakna tanggung jawab. Si Orang Bijak memberi tugas kepada bocah untuk membawa sendok kecil yang berisi minyak. Si Orang Bijak bisa kita analogikan sebagai Tuhan, jika konteksnya dibawa ke kehidupan manusia. Tuhan memberi tugas untuk setiap insan-Nya dan bukan hanya sekedar hidup saja. Tugas ini merupakan tanggung jawab setiap manusia untuk dijalani.

Sedangkan, frase "keindahan dunia" yang digunakan dalam cerita ini bisa berarti  sebagai makna yang tersurat.

Kita manusia, agar bahagia, diperintahkan untuk tidak melupakan tugas atau tanggung jawab kita sebagai manusia sambil melihat keindahan dunia. Agar bahagia, kita diminta untuk menyeimbangkan kehidupan, jasmani-rohani, spiritual, emosional, dan material.

Dan analisis saya sampai kepada "Tuhan, karena tidak mau menjejalkan apa saja tujuan hidup seorang manusia satu-persatu, dia pun membuat skenario yang berbeda-beda untuk setiap umat. Bagi yang optimis, bisa dikatakan Tuhan ingin agar umatnya mencari jalannya sendiri dan melalui semua proses ini sehingga mencipta manusia yang tangguh dan sabar. Tapi bagi yang skeptis dan pesimis, Tuhan adalah produser sekaligus sutradara yang bisa saja bilang "cut", mengganti dialog, properti atau bahkan mengganti pemain."

"And, CUT! That's a wrap, baby. That's a wrap!," seru Tuhan saat kita mati. 

Senin, 16 Juli 2018

Contradictio in Terminis


Saat membaca jurnal BASIS, saya menemukan istilah contradictio in terminis dan tertarik untuk membahasanya dalam kehidupan sehari-hari.

Dari kata contradictio, kita bisa mengartikan contradictio in terminis ini sebagai term yang kontradiktif. Dan hidup ini penuh dengan hal-hal yang kontradiktif.

Kita mungkin sering banget terjebak dalam situasi contradictio in terminis ini. Mau tapi gak mau, gak butuh tapi butuh, benci tapi rindu.

Mau daftar S2 ke luar negeri, tapi malas ngurusin tetek-bengek administratif yang ribet. Mau dapet duit, tapi males gerak. Mau mengembangkan karir tapi mager melebarkan koneksi. Daya beli semakin menurun, sementara keinginan semakin banyak. Pusing dan menyiksa.

Situasi yang kontradiktif ini seringkali menyiksa kita karena memaksa agar otak dan hati berargumen. Antara perasaan atau logika, yang mana yang mau dimenangkan?

Sederet imajinasi yang berisi keinginan dan harapan menggantung bak tirai indah yang mempercantik rumah. Dipajang dan dibiarkan untuk memperindah angan saja. Kenyataannya, semua keinginan itu tidak pernah tercapai karena usaha pun tidak pernah ada. Kalau pun ada usaha dan gagal, kita terpaksa memaknai semua proses sebagai pembelajaran hidup.

Statis.

Senin, 18 Juni 2018

Note to My Self

Zaman awal ngeblog, saya jarang terlalu memikirkan konten tulisan saya. Tanpa riset, asal njeplak, dan kadang unfaedah. Sekarang, karena berbagai guncangan realitas kehidupan dan mega-kritikan dari orang terdekat, saya sangaaaat berhati-hati saat menuliskan sesuatu. Saya merasa tulisan yang saya ciptakan lebih berkualitas dibandingkan tulisan saya dulu. Lebih edukatif dan berusaha memberi perspektif baru. Tapi lama-kelamaan rasanya ada yang hilang. Apa ya....

Saya kehilangan keliaran dan kelincahan saya dalam berimajinasi. Dan otak saya dalam empat tahun belakangan ini mogok dari dunia fiksi. Saya hanya penikmat dan bukan memproduksi. Padahal saya suka sekali mengkhayal.

Semoga saya berproses menjadi manusia yang inovatif dan kreatif ba'da lebaran 1439 H ini ya. Semoga saya bisa berdamai dengan dunia khayal dan menciptakan sesuatu barang sepuluh lembar.

Btw, mohon maaf lahir dan batin.

Rabu, 16 Mei 2018

Hantu Terorisme dalam Hizbuttahrir

Sumber: Google
Instastory tanggal 15/05
Tulisan ini saya adalah pertanggungjawaban saya atas instastory yang pernah saya buat pada Selasa, 15 Mei 2018. Instastory itu mendapatkan beberapa tanggapan seperti "Tidak. Sangat berbeda" atau "Apakah HT selama ini ada hubungannya dengan teroris? Perasaan kenalanku masih lurus-lurus aja", dll. Hal ini menggerakkan saya menulis relasi antara HT dan Terorisme. Tidak bijak jika instastory tersebut tidak dijelaskan secara lebih bertanggungjawab. Tulisan ini mencoba untuk itu.

.....


Aksi kerusuhan di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, kemudian beberapa aksi pengeboman di Surabaya setelah tiga hari berselang menjadi pembicaraan di media massa dan kalangan pengguna media sosial. Berbagai dugaan adanya konspirasi beberapa pihak penting di Indonesia menghasilkan berbagai macam opini publik. Opini saling menyindir, menyalahkan dan merasa menjadi pihak yang paling benar, bertebaran di berbagai platform media sosial. Dalam situasi yang mengkhawatirkan seperti ini, kita tidak tahu harus siapa yang harus bertanggungjawab, harus memahami penyebab ini dari mana, atau mengapa ini semua bisa terjadi.   

Yasraf Amir Piliang (YAP) dalam bukunya yang berjudul Hantu-Hantu Politik dan Matinya Sosial (2003) mengatakan, aksi teror dalam wujud citranya kini menjadi sebuah global spectacle (tontonan global). Tujuan utama terorisme memang bukan kehancuran atau kematian itu sendiri, melainkan bagaimana kehancuran atau kematian tersebut menjadi sebuah live stage-melalui media massa dan media sosial. Semakin massal orang yang melihatnya, maka akan semakin dahsyat efek ketakutan, kengerian, dan trauma yang ditumbulkannya. Saat efek ketakutan ini berhasil merasuk dalam masyarakat sehingga menjadi trauma global, maka "aktor" di balik teror ini akan mendapatkan keuntungan politik yang lebih besar dari peristiwa horor tersebut. Kematian dan ketakutan dijual demi memperoleh laba politik.

Menurut pengamatan saya di media massa dan media sosial, tidak sedikit pihak yang memanfaatkan situasi ini untuk sekedar muncul atau melindungi diri. Kejadian pengeboman di Surabaya beberapa waktu lalu telah mewujud menjadi shapping teror atau pembentukkan kategori siapa yang teroris dan siapa yang bukan teroris berdasarkan logika paralogisme (sesat berpikir), seperti “karena yang mengebom bukan dari kelompok kami, maka kami jelas bukan teroris.”  

YAP, lebih lanjut menambahkan tentang adanya soft-terrorism, yaitu cara teror yang halus, yang selama beroperasi, ia berlindung di balik baju perdamain, keadilan, dan kemanusiaan global dan inilah yang dinamakan hantu-hantu terorisme. 

Tweet Felix Siauw

Saat membaca tentang Hantu-Hantu Terorisme ini saya teringat Hizbuttahrir (HT). 
HT adalah sebuah parpol yang berideologi Islam, bukan sebuah organisasi kerohanian macam tarekat, bukan lembaga ilmiah, lembaga sosial apalagi lembaga akademis. Parpol ini didirikan oleh Taqiyuddin Al Nabhani pada sekitar 1953 dan pertama kalinya masuk ke Indonesia sekitar tahun 1972. Dengan menganut Islam sebagai ideologi dan politik sebagai aktivitasnya, HT memiliki tujuan untuk membangkitkan kembali umat Islam dari kemerosotan yang amat parah, membebaskannya dari ide-ide, sistem perundang-undangan dan hukum yang mereka nilai kufur, dan membebaskan dari dominasi negara-negara kafir  dengan membangun Daulah Islamiyah dan mengembalikan Islam kepada kejayaan masa lampau. HT jelas memiliki tujuan politis dan ingin mengusung Negara Khilafah sebagai solusi dari permasalahan yang terjadi di era global ini. Islam digunakan sebagai “alat” legitimasi gerakan untuk memuluskan tujuan politis mereka.

Kelompok ini menggunakan metode yang mereka yakini sebagai metode dipakai oleh Rasulullah. HT beranggapan bahwa umat Islam sekarang hidup dalam Darul Kufur yang serupa dengan kehidupan di Mekkah (sebelum hijrah ke Madinah) pada zaman Nabi. Dalam melakukan dakwah, HT mempunyai beberapa tahapan.

1. Tahap pembinaan dan pengkaderan
2. Tahapan berinteraksi dengan umat, agar umat ikut memikul kegiatan dakwahnya
3. Tahap pengambilalihan kekuasaan untuk menerapkan ajaran Islam secara menyeluruh

Lucunya, di Indonesia kelompok HT disalahpahami sebagai sekedar ormas biasa yang bercita-cita menegakkan syariat Islam dan kalimat Allah. Dengan cita-cita utopis mendirikan negara khilafah, HTI berhasil menjaring banyak anggota, khususnya kaum Muslim urban, yang memiliki wawasan minim tentang Islam. Mereka terpesona akan cita-cita penegakan syariat Islam sebagai solusi dari pemasalahan politik, ekonomi, HAM dan lain-lain. Pun para tokoh HTI selalu mencitrakan diri sebagai pembela kaum Muslim yang tertindas dari hegemoni dan dzalimnya rezim sekuler-liberal. Bagi mereka demokrasi adalah sistem thagut dan HARUS diganti dengan sistem pemerintahan khilafah versi mereka sendiri.

HT kerap memproklamirkan diri sebagai kelompok pacifis atau kelompok yang cinta gerakan damai dan nonviolence. Dengan visi “negara khilafah global” yang membentang dari Afrika Utara sampai Asia Tenggara, HT membagi misinya menjadi tiga tahap seperti yang telah disebutkan di atas. Cara-cara yang dipakai HT masih sekedar rally, pengajian, demonstrasi, kampanye dengan selalu mengutip ayat-ayat Al-Qur'an atau Hadits Nabi dengan membawa serta simbol-simbol keislaman. Tapi ada hal yang perlu dilihat kembali saat mereka menyatakan diri tidak ada kaitannya dengan terorisme. Kita perlu melihat tiga tahapan HT itu dan mengkajinya lebih dalam, 

Pada tahap pertama, HT menciptakan pembinaan dan pengkaderan. Well, dalam tahap ini bisa dibilang sebagai tahap pembentukan "kader inti" di mana anggotanya akan dibimbing, diarahkan, dan ditanami semangat perjuangan dan cita-cita pembentukan negara khilafah. Kader inti berfungsi sebagai agen penyebar kultur HTI dalam sebuah masyarakat. Kegiatan yang dilakukan biasanya bersifat ajakan pengajian, liqo, atau kajian sejarah peradaban Islam. Tidak sedikit pula yang menggunakan platform media sosial sebagai wadah untuk berdakwah dan menyebarkan semangat dan cita-cita HT ini. Mereka sangat militan dan loyal terhadap ideologi Pan-Islamisme. 

Tahap kedua, setelah kader inti terbentuk dengan baik, mereka akan diberi tugas untuk berdakwah, kampanye, dan menyebarkan propaganda untuk meyakinkan kaum Muslim tentang cita-cita negara khilafah. Kader inti berinteraksi dengan umat, agar umat ikut memikul kegiatan dakwahnya. Mereka menyusup ke dalam media massa, media cetak, dan media sosial, kemudian menciptakan kesadaran baru kepada publik Muslim tentang keunggulan sistem khilafah dan betapa cacatnya pemerintahan demokrasi. Contohnya junjungan kaum Muslim Urban, Ust. Felix Siauw yang gencar sekali berdakwah melalui media sosial dan media cetak. 

Tahap ketiga, yaitu pengambilalihan kekuasaan untuk menerapkan ajaran Islam secara menyeluruh. Inilah yang bisa dimaknai sebagai revolusi. Saat dukungan publik Muslim dirasa cukup banyanyak, HT akan melakukan perebutan kekuasaan dengan pengubahan politik dari "sekuler" menjadi model Khilafah. Proses transisi ini menurut mereka harus dilakukan dengan damai sesuai dengan syariat Islam yang nirkekerasan. Menurut HT, hanya seorang sosok khilafah yang boleh menyerukan jihad dalam pengertian berperang. 

HT sangat berpotensi melakukan tindak terorisme pada saat tahapan ketiga. Tidak menutup kemungkinan mereka akan melakukan kudeta militer, jika sang khilafah memerintahkan untuk melakukannya. Ingat khilafah juga manusia, ia tidak profan dan memiliki hawa nafsu sebagai penguasa! Sejarah mencatat, tidak ada revolusi yang tidak menimbulkan pertumpahan darah. Akan ada banyak gencatan senjata, korban sipil, dan juga kerusakan alam yang parah akibat berperang. Saat proses kudeta militer yang gagal di Yordania (1968-1969) dan Mesir (1974), HT disinyalir terlibat. Dan kemudian ditanggapi dengan argumen intervensi militer adalah nusrah (pertolongan luar), walau mereka tidak ada kaitan langsung dengan organ militer.

Di Indonesia, HT memang belum terbukti melakukan tindak kekerasan fisik. Tetapi kehadiran kader-kadernya kerap menampilkan konten yang bersifat provokatif dan cenderung suka mem-vis-a-vis-kan elemen-elemen oposisinya. Misalnya Islam v.s Barat atau Khilafah v.s Demokrasi. Simplifikasi terhadap sejarah kekhalifahan, membuat kemasan Sistem Khilafah begitu profan sehingga terlihat menggiurkan. Untuk menggapai cita-citanya, kader HT kerap kali mempengaruhi simpatisannya untuk melakukan kekerasan, radikalisme, dan terorisme.Proses selanjutnya, orang yang sudah mengalami radikalisasi dan militansi ini, jika waktu dan momentum telah tiba, akan sangat mudah untuk dimobilisir dan digerakkan melakukan tindakan kekerasan. Inilah hantu terorisme; berlindung di balik baju perdamain, keadilan, dan kemanusiaan global, padahal sering menyebarkan ujaran provokatif.

Perlu dicatat, perlawanan wacana terhadap pemerintah RI, Pancasila dan Konstitusi UUD 45 merupakan kekerasan struktural dan ini selalu menjadi agenda HTI dalam aksi movement-nya. Kelompok HT memang secara terang-terangan mengecam tindak terorisme, tapi cara-cara dan cita-cita yang mereka perjuangkan mengarah kepada tindak terorisme. Dan konyolnya, mereka menggunakan demokrasi untuk menentang demokrasi itu sendiri. How funny, isn't it? 

Akhirul kalam, I strongly agree dengan pembubaran HT di Indonesia. Dengan dibubarkannya organisasi ini, kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia setidaknya akan lebih terjaga. 



Peace, Ummi.








Minggu, 01 April 2018

Jadi Uncle Muthu Itu Berat, Milea!


Kalau Anda penikmat serial Upin & Ipin, pastilah tahu dengan sosok Uncle Muthu. Ya, dia adalah pemilik warung makanan berkonsep outdoor di Kampung Durian Runtuh. Upin, Ipin dan kawan-kawannya sering makan Es ABCD di warung tersebut.

Dilihat dari logatnya, Uncle Muthu adalah seorang pria Tamil. Uncle Muthu dihadirkan dengan tampilan kaos kutang, bersarung, dan berkumis baplang seperti Pak Raden. Dia suka menggoyangkan kepalanya saat berbicara dan kerap melontarkan pernyataan-pernyataan lucu. Uncle Muthu tentunya sangat fasih berbahasa Melayu dengan logat Tamil yang kental.

But, wait. Apa yang menarik dari sosok Uncle Muthu?

Menurut saya, dia adalah sosok yang paling positif dan berbesar hati dalam serial ini.

Kenapa?

Well, coba Anda bayangkan. Menjadi seorang etnis minoritas yang berbeda kultur dan agama, hidup sendirian tanpa keluarga, juga bekerja di sektor kuliner, di mana kamu harus bertatap muka dengan pelanggan yang sebagian besar minoritas Melayu dan Muslim. Man, that's the toughest thing as a minority!

Menjadi Uncle Muthu itu berat, Milea! Menjadi seorang minoritas yang populasinya sedikit di sebuah wilayah dan bekerja di sektor jasa itu BERAT.

Kamu akan dituntut untuk sempurna. Salah sedikit saja, bisa mampus nama baik etnismu di wilayah tersebut.

Andai saja begini: Uncle Muthu tidak menjaga kebersihan warung outdoor-nya sehingga seluruh kawula Kampung Durian Runtuh akan mencap "warung Tamil itu kotor" atau "orang Tamil itu jorok".  Sehingga cacatlah semua orang Tamil yang punya warung di seluruh dunia di mata warga Kampung Durian Runtuh. Jadi semisal si Upin sudah besar dan berkuliah di England sana dan menemukan warung Tamil, bisa jadi Ia akan teringat warung Uncle Muthu yang kotor di kampungnya sehingga Ia enggan makan di warung Tamil mana pun. Generalisasi etnis.

Itu cuma contoh lho ya....

Di balik serunya kisah Upin dan Ipin c.s, beserta keragaman yang ditampilkannya di serial dengan kehadiran Uncle Muthu, Uncle Ahtong, Meimei, Jarjit dan Susanti, ada yang sebenarnya tidak bisa dilihat secara sederhana.

Serial ini memang diperuntukkan untuk anak, maka kemajemukan tokoh-tokohnya disajikan dengan sederhana. Tak ada konflik etnis di dalamnya. Ya, iyalah!? timpuk

Kemajemukan tidak bisa direnda begitu saja secara sederhana. Saya yakin ada kepentingan di balik masyarakat yang majemuk, tapi adem ayem saja. Wong gak majemuk aja bisa konflik, apalagi yang majemuk. Tentunya diperlukan tiang pancang untuk membuat semuanya stabil. Ya, ibaratnya merenda sebuah tirai, diperlukan "tiang pancang" untuk membuat segalanya terlihat indah dan rapi, bukan?

Tinggal di Malaysia selama lebih dari lima tahun, meninggalkan jejak pada benak saya bahwa masyarakat Malaysia itu taat pada aturan dan sistem. Gak heran negaranya rapi jali macem begitu. Orang-orang diajarkan untuk menolerir sistem, dan menolerir satu sama lain, tetapi diam-diam mereka kadang-kadang melontarkan komentar rasis. Tapi ada satu "tiang pancang" penegak keberlangsungan dan persatuan di negara itu. Apa coba?

Kepentingan.

Persatuan yang berlangsung di Malaysia sekarang adalah persatuan demi kelangsungan hidup, sifatnya instrumental, kalkulatif, dan semu, dan bukan persatuan yang murni. Kepentingan menjadi dasar dari keseimbangan sosial. Dan ini juga terjadi kok di belahan dunia mana pun, termasuk di negara kita.

Sekian.