 |
| #pinterest |
***
Seberapa
banyak kebohongan yang dilontarkan orang tua kita saat kita masih kecil?
Anak
memiliki segudang pertanyaan tentang kehidupan. “Allah itu apa sih? Orang ya?”,
Ma bagaimana aku lahir?”, “Ayah, apa itu perkosa?”, “Umi, kok bulannya gerak
terus sih?”, “Ibu, kafir itu siapa sih?”, “Pak, Jokowi itu jahat ya?”, dan
masih banyak lagi segudang pertanyaan yang tak terduga dari mulut anak. Pertanyaan
anak biasanya akan berputar pada dualisme, hitam-putih, jahat-baik, atau
cantik-jelek.
Orangtua
yang tidak siap lahir batin, biasanya akan menjawab dengan gusar atau melotot,
sambil berkata, “Hush! Gak boleh ngomong seperti itu!”, Diam! Nanya mulu nih
anak!” atau “Gak tau!”, bahkan tanpa berkata-kata langsung melayangkan cubitan
karena terganggu dengan pertanyaan kritis anak. Dalam konteks ini, kita tendang
saja dulu jauh-jauh karena saya tidak akan membahas tipe orangtua seperti ini.
Orangtua
yang baik—setidaknya dalam kacamata psikologi anak—akan berusaha menjawab
sebisa mungkin, sesederhana mungkin untuk dimengerti oleh si kecil. Dan tak
jarang karena ingin simple tapi tetap berasa good parents, mengambil jalan
pintas dengan berbohong agar pertanyaan-pertanyaan “nyleneh” anak dapat
sadaqallahuladzim dan terjawabkan. “Ayah, perkosa itu apa?”, “Perkosa itu
kemaluan kamu dimasukkin paku dan disakiti”. Dan si anak pun membayangkan
dengan geli dan menutup perbincangan karena membayangkannya saja ngeri.
Ada
juga orangtua zaman millennium. “Yuk kita cari di Google!”, ajak seorang ayah
saat anaknya bertanya bagaimana proses terjadinya hujan. Jika pertanyaannya
masih dalam konteks “bagaimana proses terjadinya fenomena alam”, kemungkinan
besar masih ada jawabannya di Google. Tapi jika pertanyaan yang diajukan adalah
pertanyaan yang kita sendiri belum tahu jelas jawabannya? Yang bersifat moral
atau tindak asusila? “Ayah, muka Allah tu kaya gimana sih?”, “Wah Ayah gak
pernah lihat tuh. Kita cari di Google yuk!”. Dan yang muncul adalah gambar awan
yang ada tulisan lafadz Allah sehingga si anak mengira bahwa Allah berada di
langit.
Kebohongan
orang dewasa tidak hanya dilanggengkan oleh orangtua, tapi juga oleh guru. Saat
menjelaskan segala sesuatu, guru cenderung berpikir bahwa dunia akan menjadi
tempat yang lebih baik jika ia membayangkan bahwa sesuatu itu baik. Pendidikan
seks untuk anak usia dini? Oke, tapi tunggu mereka besar dulu. Gak patut anak
SD ngomongin proses reproduksi. Guru bicara politik pada murid? Boleh, asalkan
gak SARA. Tapi nanti dikira kampanye lagi. Agama? Yah, selama kita seiman,
kalau enggak seiman jangan deh, nanti saya diboikot wali murid lagi.
Orangtua
dan guru adalah pembohong yang ulung, tentunya demi kebaikan. Alfred Adler
pernah berkata, “kebohongan tidak akan masuk aka, kecuali kebenaran mengandung
bahaya yang setara”. Orang dewasa tidak menginginkan anak-anak mengetahui apa
yang anak-anak itu butuh untuk diketahui, mereka lebih suka agar anak-anak
mengetahui apa yang seharusnya mereka butuh untuk ketahui. Ada ketakutan yang
menghantui diri para orang dewasa akan keingintahuan anak.
Dalam
diri setiap orang dewasa pernah bersemayam jiwa seorang anak; polos dan penuh
rasa ingin tahu dengan perasaan yang masih halus. Dan dalam diri setiap anak
pernah bersemayam kebohongan yang didapatkannya dari orang dewasa. Siklus ini
adalah harga mati. So that’s why people lying all the time.