Kamis, 08 Juni 2017

Hidup

Hidup itu adalah perjalanan. Itu yang saya yakini sampai sekarang.

Tuhan memberikan manusia ruang dan waktu untuk menggunakan hidupnya, memilih jalan-jalan yang akan dilaluinya. Semua perjalanan hidup adalah potongan-potongan film yang berisi kelemahan hati manusia; senang, marah, kesedihan, kebahagian, kecewa, derita, keraguan, dan ketidakpastian. Adalah perjuangan yang membuatnya teguh dan tetap menghirup nafas. Tak ada yang dapat menggantikan peranmu. Dan hal ini sulit dijelaskan. Dan pada akhirnya hidup adalah tentang diam.

Kehidupan itu bukan seperti arena pertarungan, di mana kelihatan seru saat kita menonton di pinggir panggung, tapi akan berbeda rasanya saat kita berada di tengah panggung. Sudah berapa ribu kata yang mencatatkan tentang kisah perjuangan orang-orang pada masa lalu. Penderitaan, kemiskinan, kelaparan, dan ketakutan adalah kawan bagi mereka yang dulu berjuang untuk bangsa ini. Saat masa depan seperti teka-teki. Saat maut begitu bergairah ingin mencium jiwa-jiwa yang berani bicara dan bertindak. Tapi semua ada harganya. Apa? Masa depan yang ingin diperjuangkan? A better life.

Dulu, saat hidup tak semudah sekarang, akan selalu ada orang-orang yang tak berani bicara. Karena mereka tidak tahu apa harga yang akan dibayar dari sebuah perkataan yang memiliki banyak isyarat. Masih teka-teki.



Banjarbaru, 9 Juni 2017

Pengorbanan Manusia

Pengorbanan manusia adalah siklus mutlak di dunia ini.

Source: Pinterest
Peter L. Berger dalam “Piramida Kurban Manusia: Etika Politik dan Perubahan Sosial” menulis tentang Piramida Raksasa di Cholula sebagai kisah pembuka dalam bukunya. Di Meksiko, ada sebuah kota kecil bernama Cholula di mana telah ditemukan sebuah piramida raksasa yang awalnya berwujud gunung berukuran sedang yang ditutupi pepohonan dan semak belukar. Sebelum ditaklukkan bangsa Spanyol, kota ini menjadi pusat pemujaan terpenting di Meksiko pada Abad ke-3 sesudah Masehi pada masa Dinasti Teotihuacan , kemudian beralih kekuasaan pada bangsa Olmec dari Selatan Meksiko  (Abad ke-9),  lalu ditaklukkan oleh bangsa Toltec. Bangsa Toltec inilah yang membawa pemujaan Quetzalcoatl, dewa naga yang berbulu yang harus diberi makan dengan darah manusia. Pemujaan Quetzalcoatl ini juga dipertahankan oleh bangsa Aztec. Pemujaan ini ada berdasarkan teori secara turun-temurun dan tidak dapat ditawar lagi; jika dewa-dewa tidak teratur diberi makan akan darah manusia, maka alam semesta akan porak poranda. Dalam mencari tumbal, bangsa Aztec membinasakan kawasan yang mereka kuasai, memberlakukan upeti manusia, yang semuanya untuk diserahkan pada Quetzalcoatl. Keyakinan akan kuasa Quetzalcoatl, membuat bangsa Aztec begitu bernafsu memburu suku-suku lain untuk dijadikan persembahan.

Keteguhan dalam menerapkan teori dapat menimbulkan sejumlah akibat yang sama sekali tidak terduga. Spanyol dengan mudah mendapatkan dukungan dari kelompok suku-suku lain untuk menghancurkan Aztec. Andai saja bangsa Aztec tidak begitu sadis memburu suku-suku lain, bisa saja Spanyol akan sulit merebut kota Cholula. 


Menurut Berger, piramida raksasa di Cholula ini menggambarkan suatu rangkaian  bagan-bagan teori yang silih berganti, masing-masing terwujud dalam tumpukan batu dan dibebankan atas generasi demi generasi yang diam. Melihat Cholula adalah memahami hubungan antar teori, keringat, dan darah. Lupakan maksud-maksud estetis, tidak ada itu art pour l’art dalam kasus piramida ini. Piramida di Chulola dibangun untuk persembahan. Titik.

Lalu muncul pertanyaan, mengapa pada masyarakat zaman dulu terdapat praktik-praktik ritual pengorbanan manusia? 

Dalam sebuah artikel New York Times yang ditulis Tatiana Schlossberg, ritual pengorbanan manusia ternyata dapat membantu menciptakan hierarki. Para ilmuwan dari University of Auckland dan Victoria University of Wellington, keduanya di Selandia Baru, menemukan bahwa pengorbanan ritual mungkin telah memacu transisi masyarakat kecil dan egaliter ke yang besar dan bertingkat. Dengan kata lain transisi tersebut butuh kejadian dramatik nan kolosal, yaitu pengorbanan atas hidup manusia.

Pengorbanan manusia berkontribusi untuk menciptakan dan melestarikan hierarki sosial, dan bahwa hal itu meningkatkan kemungkinan masyarakat memiliki strata tetap, yang merupakan posisi yang diwarisi, dan mobilitasnya kurang. Hal ini juga umumnya membantu mencegah hilangnya perpecahan sosial begitu mereka ada. Bayangkan saja apa yang terjadi pada suku-suku kecil yang diburu bangsa Aztec sebagai tumbal. Saat tertangkap mereka semua dikumpulkan dan dibariskan di bawah piramida untuk menyaksikan "kawan seperjuangannya" dibunuh dan ia akan menyusul. 

Pengorbanan manusia adalah alat yang berguna bagi penguasa, elit, dan tokoh agama pada zaman tersebut untuk mempertahankan atau memperkuat kekuatan mereka, atau bahkan untuk menyatakan keilahian mereka sendiri. Legitimasi kekuasaan didapat berdasarkan ketakutan masyarakat yang kelas sosialnya lemah dan tidak berdaya.

What about this era?
Saya rasa pengorbanan manusia masih akan tetap ada. Lower and working classes berada paling bawah sebagai penyangga middle class dan upper class. Kelas penyangga yang menyangga dan menjalankan pemenuhan kebutuhan kelas di atasnya justru hidup paling menderita dan kekurangan. Semakin tinggi dorongan dari upper class, maka middle class pun ikut juga mendorong ke bawah. Tekanan yang diterima lower class semakin berat. Akan ada yang tersingkir, bisa mati, bisa gila. Atau lebih buruk, mati karena gila.












Selasa, 06 Juni 2017

Anak dan Kebohongan Orang Dewasa


#pinterest

***

Seberapa banyak kebohongan yang dilontarkan orang tua kita saat kita masih kecil?
Anak memiliki segudang pertanyaan tentang kehidupan. “Allah itu apa sih? Orang ya?”, Ma bagaimana aku lahir?”, “Ayah, apa itu perkosa?”, “Umi, kok bulannya gerak terus sih?”, “Ibu, kafir itu siapa sih?”, “Pak, Jokowi itu jahat ya?”, dan masih banyak lagi segudang pertanyaan yang tak terduga dari mulut anak. Pertanyaan anak biasanya akan berputar pada dualisme, hitam-putih, jahat-baik, atau cantik-jelek.

Orangtua yang tidak siap lahir batin, biasanya akan menjawab dengan gusar atau melotot, sambil berkata, “Hush! Gak boleh ngomong seperti itu!”, Diam! Nanya mulu nih anak!” atau “Gak tau!”, bahkan tanpa berkata-kata langsung melayangkan cubitan karena terganggu dengan pertanyaan kritis anak. Dalam konteks ini, kita tendang saja dulu jauh-jauh karena saya tidak akan membahas tipe orangtua seperti ini.

Orangtua yang baik—setidaknya dalam kacamata psikologi anak—akan berusaha menjawab sebisa mungkin, sesederhana mungkin untuk dimengerti oleh si kecil. Dan tak jarang karena ingin simple tapi tetap berasa good parents, mengambil jalan pintas dengan berbohong agar pertanyaan-pertanyaan “nyleneh” anak dapat sadaqallahuladzim dan terjawabkan. “Ayah, perkosa itu apa?”, “Perkosa itu kemaluan kamu dimasukkin paku dan disakiti”. Dan si anak pun membayangkan dengan geli dan menutup perbincangan karena membayangkannya saja ngeri.

Ada juga orangtua zaman millennium. “Yuk kita cari di Google!”, ajak seorang ayah saat anaknya bertanya bagaimana proses terjadinya hujan. Jika pertanyaannya masih dalam konteks “bagaimana proses terjadinya fenomena alam”, kemungkinan besar masih ada jawabannya di Google. Tapi jika pertanyaan yang diajukan adalah pertanyaan yang kita sendiri belum tahu jelas jawabannya? Yang bersifat moral atau tindak asusila? “Ayah, muka Allah tu kaya gimana sih?”, “Wah Ayah gak pernah lihat tuh. Kita cari di Google yuk!”. Dan yang muncul adalah gambar awan yang ada tulisan lafadz Allah sehingga si anak mengira bahwa Allah berada di langit.

Kebohongan orang dewasa tidak hanya dilanggengkan oleh orangtua, tapi juga oleh guru. Saat menjelaskan segala sesuatu, guru cenderung berpikir bahwa dunia akan menjadi tempat yang lebih baik jika ia membayangkan bahwa sesuatu itu baik. Pendidikan seks untuk anak usia dini? Oke, tapi tunggu mereka besar dulu. Gak patut anak SD ngomongin proses reproduksi. Guru bicara politik pada murid? Boleh, asalkan gak SARA. Tapi nanti dikira kampanye lagi. Agama? Yah, selama kita seiman, kalau enggak seiman jangan deh, nanti saya diboikot wali murid lagi.

Orangtua dan guru adalah pembohong yang ulung, tentunya demi kebaikan. Alfred Adler pernah berkata, “kebohongan tidak akan masuk aka, kecuali kebenaran mengandung bahaya yang setara”. Orang dewasa tidak menginginkan anak-anak mengetahui apa yang anak-anak itu butuh untuk diketahui, mereka lebih suka agar anak-anak mengetahui apa yang seharusnya mereka butuh untuk ketahui. Ada ketakutan yang menghantui diri para orang dewasa akan keingintahuan anak.

Dalam diri setiap orang dewasa pernah bersemayam jiwa seorang anak; polos dan penuh rasa ingin tahu dengan perasaan yang masih halus. Dan dalam diri setiap anak pernah bersemayam kebohongan yang didapatkannya dari orang dewasa. Siklus ini adalah harga mati. So that’s why people lying all the time.





Senin, 05 Juni 2017

Basically

Basically, this isn't my first blog. I just want to make this activity more serious, so this is my new blog. Hope i can continue this without an absent.