Selasa, 06 Juni 2017

Anak dan Kebohongan Orang Dewasa


#pinterest

***

Seberapa banyak kebohongan yang dilontarkan orang tua kita saat kita masih kecil?
Anak memiliki segudang pertanyaan tentang kehidupan. “Allah itu apa sih? Orang ya?”, Ma bagaimana aku lahir?”, “Ayah, apa itu perkosa?”, “Umi, kok bulannya gerak terus sih?”, “Ibu, kafir itu siapa sih?”, “Pak, Jokowi itu jahat ya?”, dan masih banyak lagi segudang pertanyaan yang tak terduga dari mulut anak. Pertanyaan anak biasanya akan berputar pada dualisme, hitam-putih, jahat-baik, atau cantik-jelek.

Orangtua yang tidak siap lahir batin, biasanya akan menjawab dengan gusar atau melotot, sambil berkata, “Hush! Gak boleh ngomong seperti itu!”, Diam! Nanya mulu nih anak!” atau “Gak tau!”, bahkan tanpa berkata-kata langsung melayangkan cubitan karena terganggu dengan pertanyaan kritis anak. Dalam konteks ini, kita tendang saja dulu jauh-jauh karena saya tidak akan membahas tipe orangtua seperti ini.

Orangtua yang baik—setidaknya dalam kacamata psikologi anak—akan berusaha menjawab sebisa mungkin, sesederhana mungkin untuk dimengerti oleh si kecil. Dan tak jarang karena ingin simple tapi tetap berasa good parents, mengambil jalan pintas dengan berbohong agar pertanyaan-pertanyaan “nyleneh” anak dapat sadaqallahuladzim dan terjawabkan. “Ayah, perkosa itu apa?”, “Perkosa itu kemaluan kamu dimasukkin paku dan disakiti”. Dan si anak pun membayangkan dengan geli dan menutup perbincangan karena membayangkannya saja ngeri.

Ada juga orangtua zaman millennium. “Yuk kita cari di Google!”, ajak seorang ayah saat anaknya bertanya bagaimana proses terjadinya hujan. Jika pertanyaannya masih dalam konteks “bagaimana proses terjadinya fenomena alam”, kemungkinan besar masih ada jawabannya di Google. Tapi jika pertanyaan yang diajukan adalah pertanyaan yang kita sendiri belum tahu jelas jawabannya? Yang bersifat moral atau tindak asusila? “Ayah, muka Allah tu kaya gimana sih?”, “Wah Ayah gak pernah lihat tuh. Kita cari di Google yuk!”. Dan yang muncul adalah gambar awan yang ada tulisan lafadz Allah sehingga si anak mengira bahwa Allah berada di langit.

Kebohongan orang dewasa tidak hanya dilanggengkan oleh orangtua, tapi juga oleh guru. Saat menjelaskan segala sesuatu, guru cenderung berpikir bahwa dunia akan menjadi tempat yang lebih baik jika ia membayangkan bahwa sesuatu itu baik. Pendidikan seks untuk anak usia dini? Oke, tapi tunggu mereka besar dulu. Gak patut anak SD ngomongin proses reproduksi. Guru bicara politik pada murid? Boleh, asalkan gak SARA. Tapi nanti dikira kampanye lagi. Agama? Yah, selama kita seiman, kalau enggak seiman jangan deh, nanti saya diboikot wali murid lagi.

Orangtua dan guru adalah pembohong yang ulung, tentunya demi kebaikan. Alfred Adler pernah berkata, “kebohongan tidak akan masuk aka, kecuali kebenaran mengandung bahaya yang setara”. Orang dewasa tidak menginginkan anak-anak mengetahui apa yang anak-anak itu butuh untuk diketahui, mereka lebih suka agar anak-anak mengetahui apa yang seharusnya mereka butuh untuk ketahui. Ada ketakutan yang menghantui diri para orang dewasa akan keingintahuan anak.

Dalam diri setiap orang dewasa pernah bersemayam jiwa seorang anak; polos dan penuh rasa ingin tahu dengan perasaan yang masih halus. Dan dalam diri setiap anak pernah bersemayam kebohongan yang didapatkannya dari orang dewasa. Siklus ini adalah harga mati. So that’s why people lying all the time.





0 komentar:

Posting Komentar