Senin, 29 Januari 2018

Business Trip to Garut-Tasikmalaya

Apa yang terlintas di benak Anda sekalian saat mendengar nama Garut?
Dodol? Papandayan? Galunggung? Sunda? Aceng Fikri? timpuk

Well, puji syukur saya diberi kesempatan mengunjungi Garut dalam artian hampir semua kelurahan di Garut dan Tasikmalaya. Ada pekerjaan yang mengharuskan saya turun ke lapangan guna mengecek keabsahan kolega apakah benar telah menyentuh wilayah kerjanya atau bisa disebut koordinator area begitu deh.

Oh, saya dan suami membawa serta Arung menyusuri Garut-Tasikmalaya. Ribet? Ya iyalah! Persiapan "tempur" harus dua kali lipat kalau bawa baby. Juga sabar dan harus fokus, antara mengurus pekerjaan di lapangan dan mengurus anak. Karena ini pengalaman touring pertama buat Arung, jadinya dia masih suka rewel kalau emaknya lagi presentasi. Alhamdulillah, berkat kerjasama dengan suami, pekerjaan-pekerjaan kami selama di lapangan selesai dengan baik. Nanti saya tulis dalam postingan terpisah tips membawa baby untuk perempuan yang bekerja di lapangan. :)

Back to Garut.

Melintasi alam Garut-Tasikmalaya, berasa banget betapa luas dan besarnya Jawa Barat. Keindahan alam, kekayaan, dan kesuburan tanahnya patut membuat daerah lain iri. Sejauh mata memandang, hamparan hijau dalam bentuk sawah, pohon-pohon besar, gunung, dan bukit-bukit mendominasi indra penglihatan kami. Jalur perjalanan Tasikmalaya-Garut dan Garut-Tasikmalaya kami lewati setiap harinya. Jalanan yang ekstrim tidak menyurutkan bus-bus dan truk jumbo untuk melewatinya. Jalan longsor merupakan hal biasa di jalan Garut-Tasikmalaya via Salawu.

Saat otw ke Tasikmalaya via Salawu, jalanan sempat macet karena longsor. But the show must go on. Truk dan bus tetap aja melenggang pelan.

Jalan Garut-Tasikmalaya: Kiri Sawah, Kanan Jurang

Airnya? Jangan ditanyalah. Tau kan rasanya pas kumur-kumur pakai Listeriene? Nah, pas mandi tuh rasanya kaya ada menthol Listerienenya gitu.

Jadi selama masa kerja yang hampir dua minggu, ada beberapa hari kami menginap di Desa Cigawir, Kampung Cianten di Garut. Kami menumpang di rumah teman, yang sebut saja G, yang dengan ramah  dan sangat welcome menyambut kedatangan kami. Di rumah G, ibunya menyuguhkan makanan yang sebagian berasal dari tanahnya sendiri. Cabe rawit, terong, tomat, kol dan sayuran lainnya tinggal petik di pekarangan. Kami makan sambil memandang Gunung Halimun. Pedasnya sambal buatan ibu G menambah kenikamatan makan. Ditutup dengan menyeruput teh tawar. Beuh!








Saya bersyukur sekali atas apa yang saya lihat, dengar, baui, dan rasakan selama saya berada di Garut. The people was so nice hingga saya cepat akrab dengan mereka. Saking terbukanya dan percayanya mereka sama pendatang, ada yang nanya tips menghilangkan flek hitam di wajah. Dan dengan kekuatan googling, jadilah Ummi fatia, si dokter kulit jadi-jadian. Ga nyangka, tips yang saya baca dari sebuah web, diamalkan sama perempuan se-rt di dusun itu.

Terimakasih Garut atas keramahan alam dan manusianya.






Selasa, 16 Januari 2018

Kalian

Bertemu dengan Anda-Anda semua adalah mimpi indah sekaligus mimpi terburuk kami yang masih ingusan. Kalian adalah pemupuk sekaligus penghancur kepercayaan diri kami. Bagi kalian selalu saja pertanyaan bodoh yang terlontar dari mulut kami. Kalian memilih favorit kalian seperti memilih kue dalam etalase. Yang mana terlihat enak, manis dan lezat. Sikap dingin kalian begitu bangsatnya menakuti kami. Ya ya, kalian itu dewa deh, saya akui!

Kalian yang mendewakan hirarki seringnya tertipu dengan topeng sangkutan di wajah penggunanya.
Kalian selalu memandang "siapa" bukan "apa" atau "bagaimana". Kuharap suatu hari kalian binasa, angkuh kalian terkubur tanah dengan tiadanya karya. Kalian mungkin lupa, kalian juga manusia.


Fake Face by Berk Ozturk

Minggu, 07 Januari 2018

Being an Outsider

Sejak kecil, gua selalu merasa kalau gua susah cocok sama manusia-manusia di sekitar gua. Gua sadar kadang gua suka dibilang freak, aneh, nerd or something else.

Zaman SD setelah dipikir-pikir, gua ga merasa punya teman yang benar-benar akrab sehati. Yang ada teman main buat ngobrol-ngobrol ala anak kecil. Peer group juga terbentuk hanya sebatas perisai keamanan bahwa gua punya teman. Gua juga ngerasa zaman SD dulu udah sensitif banget sehingga gua jadi anak yang cengeng dan cepat tersinggung hanya karena sebuah perkataan. Dan gua pendendam. Sialnya, gua punya kemampuan long-term memories, sehingga gua ingat tentang apa yang gua rasa selama di SD.

Zaman SMP, di pesantren. Penyesuaian diri yang hardcore antara budaya Jawa, kebiasaan santriwati, disiplin beribadah, dan kekerasan belajar guna mencapai tujuan pembelajaran kognitif. Nah, di sini gua baru merasakan apa itu yang namanya bully karena menjadi berbeda. Gua ingat bahwa self-esteem gua jadi rendah. Dampaknya juga ke bidang akademik. Gua ranking 42 dari 45 siswi. Hampir ga naik kelas. Itu tahun pertama di pesantren sih.

Tahun kedua di pesantren, gua juga merasa tersingkir karena kecewa temen yang gua anggap sohib, justru ga nganggep sama sekali. Gua waktu itu bego banget ya? Andai gua udah baca buku-buku psikologi dan filsafat kaya sekarang, mungkin dulu gua cool aja nanggepin penolakan pertemanan kaya gitu.

Tahun ketiga, gua punya teman sebangku yang akrab. Bukan Jawa. Orang Kendari Tionghoa. Anaknya jujur dan ceplas-ceplos sehingga gua juga bebas mau ngomong apa aja. Kadang kita berantem masalah Ustadz Jefry Al-Buchory yang menurut gua ga banget itu. Nah karena dia cinta mati sama tuh Ustadz, dibelalah habis-habisan. Haha, kadang gua geli sendiri ngingetnya. Yang gua inget juga, dia orang paling tulus dalam pertemanan selama gua di pondok.

SMA, gua dipaksa pindah sama Abah. Dari pesantren ke SMA Negeri. Kebiasaan disiplin belajar di pesantren kebawa ke SMA. Membuahkan ranking yang ga gua sangka-sangka. Padahal waktu kelas 3 SMP, gua ga pernah berhasil nembus ranking 20 besar. Terakhir di pesantren itu ranking 28 dari 45 siswa.

Nah, disiplin dan keaktifan belajar itu justru dipandang aneh sama temen-temen SMA. Mungkin bagi mereka "Apa sih Ummi, berisik banget deh!" Kadang gua berusaha sabar kalau lagi berpendapat tentang materi pelajaran ke guru (habis ga ada yang merhatiin guru, greget suasana kelas ga ada feedback-nya), ada temen yang nge-boo-in gua. Sengaja banget sampai bikin temen-temen sekelas nertawain gua.

Pembawaan serius gua juga sering jadi bahan olokan karena gua susah menerima joke mereka. Gua lambat dalam hal membalas lawakan sehingga terkesan kaku dan ga seru. Jadinya ya gua cuman balas senyum atau ketawa kalau ada yang nge-joke.

Teman deket gua ya temen sebangku. Yang zaman itu belum pada doyan kpop, kita udah punya bias sendiri. Yang dibahas tentang k-drama, boyband, lagu kpop terbaru dan gosip seputar Korean wave. Jadilah kita dibilang semacam "ottaku-nya" kelas. Aneh dan eksklusif.

Yang mereka ga tau adalah kita berdua kaya akan imajinasi. Untungnya gua dan teman sebangku itu menduduki ranking tiga teratas sampai kelas tiga berturut-turut.

Lulus SMA, nge-ronin dulu ke Kampung Inggris, Pare. Nemu temen yang buuaaaiiik dan pengertian banget. Dan sampai sekarang gua sahabatan sama dia walaupun udah hampir 5 tahun ga ketemu.

Kuliah? Wah jangan ditanyalah. Berasa surga banget pas awal belajar pengantar ilmu filsafat. Trus gua juga doyan baca buku tentang cultural studies gitu. Gaya berpikir dan memandang segala hal juga ikut berubah. Gua mulai ngurangin hal-hal banal sampai bener-bener gua tinggalin. Gua ngehindarin gaya hidup hedon mahasiswa, lebih suka ke perpusat, dan melibatkan diri dalam kegiatan yang bersifat ilmiah.

Sampai pada titik gua keasyikan ngebahas sesuatu yang jauh banget dari jurusan yang gua ambil di UI. Haha... Anak Sastra Cina ngomongin dan baca buku epistemologi, Carl Jung, dan Politik Islam?! Ya ambyar nilanya.

Jadilah gua dinasehatin sama suamik bahwa hidup itu harus fokus. Jadilah gua semakin ansos. Kupu-kupu sampai si Arung bertengger di perut selama 40 bulan yang pegal-pegal itu. Pernah ada titik di mana gua merasa bahwa gua ga punya teman akrab. Suamik adalah satu-satunya teman yang paling mengerti. Dia mentor, sahabat, dan kekasih sekaligus.

Sampai sekarang, gua masih merasa menjadi outsider dalam lingkaran pertemanan dan keluarga besar. Lo bayangkan aja hasil test MBTI gua: 52% ENTJ; 48% INTJ. Jadi kadang gua bisa meledak-ledak, pun bisa diam menyendiri.

Yah, begitulah.

Impian

Gua tau, berumah tangga bukan jadi alasan untuk ga ngegapai mimpi lo. Hidup di Indonesia sebagai perempuan, bisa mengenyam pendidikan tinggi itu sesuatu banget. Lo dituntut untuk jadi manusia multitasking dengan segala tetek bengeknya.

Gua berharap tahun ini gua bisa achieve mimpi gua untuk kuliah di luar negeri. Walaupun dalam beberapa waktu terakhir terjadi diskusi dan perenungan tentang "Sebenarnya tujuan lo apa kuliah di luar negeri? Kalau ujung-ujungnya setelah pulang mengharap bekerja sama orang, mending ga usah "

Nah, renungan dan diskusi yang mengarah ke sana selalu seru sih dibahas sama Abah gua atau suamik. Kita biasanya membahas kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi ke depan pada manusia yang "terlambat" membangun relasi di Tanah Air. Juga tentang wacana "berkarya" sedari dini yang dirasa lebih penting dibandingkan dengan harus berkutat lagi dengan teori-teori di kelas a.k.a mending lo langsung gerak. Kurang lebih begitulah.

Kuliah di luar negeri itu mimpi gua sejak kecil. Sama kaya mimpi gua mau kuliah di UI dulu. Mungkin karena bawaan sulung yang menjalani kehidupan yang keras waktu kecil, gua jadi anak yang keras hati sama sesuatu yang gua mau.

Cuman ya semenjak punya Arung, gua udah ga sekeras itu lagi sama diri gua sendiri karena dampaknya ke psikis gua. Yang jelas sih gua sama suamik ga akan pernah berhenti melakukan sesuatu atau berkarya.

Life needs money, yet your existence. Karena gua percaya tiap manusia ada perannya masing-masing dalam kehidupan.