Minggu, 25 Februari 2018

Pemikiran Kembali Tentang Penggunaan Media Sosial

Dewasa ini, sulit untuk membayangkan hidup tanpa teknologi informasi. Usaha untuk mendapatkan peranti-perantinya pun dilakukan guna memenuhi kebutuhan tersebut. Bisa dibilang bahwa kebutuhan masyarakat akan dunia citra visual (visual image) semakin meningkat dan merubah cara berkomunikasi.

Halusinasi dan Kejutan Gelombang


Sumber gambar: Google

Platform media sosial merupakan salah satu wadah untuk menampilkan citra visual seseorang atau sesuatu. Facebook, Instagram, Snapchat, Twitter, dan media sosial lainnya adalah pembentuk imaji/citra tentang realitas pada titik tertentu agar dianggap sebagai sebuah realitas itu sendiri, yang tak lain hanyalah fatamorgana dan fantasmagoria.

Ambil contoh kasus Afi "Agama Warisan" yang sempat viral di Facebook. Citraan (image) Afi dibentuk dengan status-statusnya yang terkesan cerdas dan menggelitik berbagai kalangan dunia maya. Status facebook menjadi signifier untuk image Afi dan berdasarkan persepsi orang yang melihat statusnya dikaitkan dengan sebuah penanda (signified), yang berupa konsep atau makna di baliknya, misalnya cerdas, liberal, out of the box, keren, dan lain-lain. Penampakan visual Afi telah menggiring beberapa netizen pada sebuah (atau beberapa) konsep, padahal konsep yang ada di benak netizen-netizen tersebut tidak menunjukkan realitas yang sesungguhnya. Dengan kata lain, netizen telah berfatamorgana akan sosok Afi yang diinginkannya. Dan ketika kasus plagiat yang dilakukan Afi mencuat, terbukti banyak pihak yang termakan oleb empty signifier yang dicitrakan oleh Afi selama ini.

Fantasmagoria adalah kondisi ruang waktu, yang di dalamnya manusia dikendalikan oleh waktu. Kesadaran dan perhatian manusia dicetak oleh rangkaian peristiwa, citraan, dan representasi di dalam ruang dengan durasi yang semakin sempit. Ini menyebabkan semakin sempit pula ruang bagi kegiatan berpikir, berfilsafat, merenung, menggunakan akal sehat, merangkai makna, dan menyusun strategi.

Media sosial adalah wadah untuk memerangkap durasi percepatan. Gosip hangat, peristiwa mencengangkan, dan video lucu dapat "diperangkap" dan diabadikan dalam media sosial. Pengguna media sosial akan sulit untuk keluar dari tekanan perangkap tersebut sehingga mereka kehilangan makna dari relaksasi dan rethinking. Saat seseorang telah terperangkap sepenuhnya, sulit baginya untuk merangkai makna dari sebuah peristiwa yang terjadi. Durasi pengetahuan (visi, konsep, rencana, strategi, program) tidak secepat durasi percepatan (peristiwa, laporan, berita). Semakin banyak informasi yang masuk ke dalam kepala,  maka semakin tinggi tingkat tekanan (tension) seseorang.

Kalau menurut Yasraf Amir Piliang, manusia Indonesia telah terjebak di dalam jaringan  fantasmagoria, tetapi tidak mampu mengembangkan kesadaran baru dan pengetahuan baru darinya, menuju perubahan ke arah bangsa yang lebih beradab.

Dalam hal ini, ambil contoh kasus akun gosip LT di Instagram.  Mulai dari video viral pelakor, postingan artis marah-marah, hingga berita-berita yang sebenarnya bersifat dangkal, ada dalam akun tersebut. Satu persatu kejutan informasi (viral) dihadirkan, kemudian lenyap ditelan gelombang kejutan-kejutan  informasi yang lain. Gelombang-gelombang tersebut bagai candu; membuat tidak sadar dan tidak menentu arahnya apakah membuat bangsa ini menjadi lebih baik atau tidak. Apakah dengan komentar-komentar kejam netizen, bangsa ini akan menjadi bangsa yang lebih baik? Apakah postingan-postingan bertendensi bully berikut dengan bully-annya menunjukkan kalian adalah manusia yang lebih baik? Mari pikirkan kembali.

Media Sosial = Media untuk Bersosialisasi?



Sumber gambar: Pinterest


Apakah jargon media sosial sebagai salah satu tempat untuk bersosialisasi dan "keep in touch" itu benar adanya?

Dalam bermedia sosial, seseorang memposting sesuatu untuk dilihat, pun dikomentari. Alasan kuno "taruh di medsos supaya gak hilang" merupakan apologi yang bersifat narsistik. Ada pilihan fitur "seen or unseen", juga "arsipkan" jika kita tidak ingin postingan tersebut terlihat publik. Jadi dalam hemat saya, media sosial mengamini sifat narsistik seseorang untuk melanggengkan eksistensinya.

Ada dua titik yang bertolak belakang dalam bermedia sosial.
Satu, platform yang digunakan adalah untuk menjaring pemilik akun yang kita kenal, telah kita kenal, atau yang ingin kita kenal, untuk mengetahui apa yang mereka perbuat, apa yang mereka pikirkan, apa yang ada di sekitar mereka untuk kita ketahui sebagai seorang individu. Tidak dipungkiri, kadang saat kita follow atau add sebuah akun, kita memiliki tujuan lebih dari keep in touch atau get to know. Bisa jadi untuk komparasi. Bisa jadi untuk tolak ukur kesuksesan. Bisa jadi untuk monitoring. Who knows?

Dua, media sosial juga dapat membuat orang merasa diabaikan. Tidak sedikit yang menjadikan aktifitas membuka media sosial sebagai daily activity. Dan tidak sedikit juga yang put efforts untuk "diakui" keberadaannya di media sosial. Misalnya, bela-belain masuk nerabas padang ilalang yang kemungkinan besar ada ular yang sedang bobo siang, hanya untuk mendapat foto yang aduhay. Atau komentar di setiap postingan teman-teman. Mengabaikan tanggapan, tidak membalas pesan atau komentar, dapat membuat yang bersangkutan merasa tertepi. Apalagi dalam dunia citra, eksistensi adalah segalanya. Jadi tidak heran jika ada pengguna media sosial yang merasa sepi dalam keramaian dan merasa ramai dalam sepinya.

Kebahagiaan individu pengguna media sosial adalah dilihat, disukai, dan dikomentari. Perhatian dari publik tentang apa yang diposting pengguna media sosial ibarat bensin sebagai bahan bakar. Karena tentang itulah orang bermedia sosial.

0 komentar:

Posting Komentar