![]() |
| Sumber gambar: Instagram |
Saat mendengar kata “feodal”, yang ada di benak saya adalah suku Jawa. Tapi tentu tidak adil jika mengidentifikasi kata tersebut hanya mengacu pada satu suku saja mengingat sebelum menjadi Negara Republik, Indonesia terdiri dari Negara-negara kerajaan.
Menurut KBBI, istilah feodalisme memiliki tiga arti; (1) sistem sosial atau politik yang memberikan kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan; (2) sistem sosial yang mengagung-agungkan jabatan atau pangkat dan bukan mengagung-agungkan prestasi kerja; (3) sistem sosial di Eropa pada Abad Pertengahan yang ditandai oleh kekuasaan yang besar di tangan tuan tanah.
Feodalisme di Indonesia dihubungkan dengan pandangan kolot seputar hal yang berbau unggah-ungguh bangsawan keraton. Seiring dengan banyaknya bangsa Indonesia mengenyam pendidikan, pengaruh feodalisme secara bertahap memudar. Tidak ada lagi sistem kekuasaan tradisional secara turun-temurun seperti dulu. But, hey! Kayaknya ada something missing deh mengenai ini!
Secara ga sadar, feodalisme sudah menjadi memori kolektif manusia Indonesia, di mana ada kenangan romantis ketika mengingatnya. Bahkan hal tersebut menjadi warisan budaya yang layak dilestarikan, khususnya (uhuk!) bagi orang Jawa. Tak heran jika Indonesia modern muncul dengan rasa feodal (uhuk! Jawa) yang secara terselubung meresap dalam ranah standar moral dan etika.
Saat saya mengenyam pendidikan sekolah menengah pertama di sebuah provinsi di Pulau Jawa, saya kerap merasa tertekan dan terpojok karena harus mengikuti standar etika teman-teman yang notabene Jawa. Bagi saya yang dibesarkan di Kalimantan, berbicara dengan suara keras merupakan hal yang wajar. Akan tetapi hal itu membuat saya dicap kasar dan tidak sopan bagi teman-teman Jawa saya kala itu. Bahkan dalam sebuah forum, saat saya menyampaikan kritikan kepada teman, saya malah dikritik balik dengan dikatai kasar dalam berpendapat. “Mbok ya caranya jangan begitu. Ngritiknya ga beretika”, ujar kawan saya itu ketika saya dengan keras mengkritiknya yang suka bolos piket kamar. Dan setelah itu, tanpa harus diingatkan, saya mulai beradaptasi dengan standar etika mereka.
Awalnya sih aman-aman saja. Tapi lama-kelamaan, capek juga ternyata harus menjadi orang lain! Ibarat singa galak dipaksa lompat-lompat ala domba gemes. Menjadi sopan dengan standar etika yang berbeda dengan latar belakang kita itu melelahkan.
Memang benar etika itu penting. Akan tetapi hal tersebut menjadi bias ketika terdapat standar-standar yang dipaksakan oleh penutur dengan statusnya kepada si pendengar. Saat saya kelas 1 SD, pernah ibu guru membagi-bagikan buku PPKN yang diberikan secara gratis dari Dinas Pendidikan. Katanya, itu buku dari Jakarta. Sesampainya di rumah, dengan semangat saya buka itu buku. Di dalamnya terdapat berbagai macam tata cara, mulai dari tata cara bertamu, makan, mandi, bahkan menyeberangi jalan. Buku dari Jakarta itu benar-benar membuat saya bingung karena banyak sekali bagian-bagian yang tidak saya mengerti sehingga saya harus menanyakan kembali kepada ibu guru di kelas.
Di Bab 1: Tata Cara Bertamu, dijelaskan bahwa jika ingin bertamu harus duduk di kursi tamu dan membelakangi jendela ruang tamu. Jika ditawari minum, hendaknya menolak terlebih dahulu sambil berkata “tidak usah repot-repot” dan saat minum hendaknya tidak tandas habis melainkan disisakan sedikit air supaya tidak terlihat kehausan. Atau di Bab 4: Tata Cara Menyeberang Jalan, di mana dijelaskan jika ingin menyeberang, kita harus menyeberang di lampu merah. Bagi saya yang kala itu masih kelas 1 SD, ketentuan tata-cara tersebut membingungkan karena dalam prakteknya hal-hal yang dijelaskan dalam buku tidak lumrah bagi saya yang anak kampung ini. Di Tenggarong, Kutai Kertanegara, pada zaman itu, kursi tamu merupakan barang mewah dan jarang sekali ada yang punya. Bagi orang Kutai, saat bertamu lebih akrab jika duduk di teras atau lantai di bagian dalam rumah. Bagi orang Kutai, menolak minuman dari tuan rumah adalah sebuah dosa, apalagi tidak menghabiskannya.
Di daerah saya kala itu pun jika ingin menyeberang, ya menyeberang saja. Jangankan lampu merah, trotoar saja masih jarang. Dalam buku tersebut begitu banyak standar-standar yang tak kami pahami sehingga harus menanyakan ulang kepada ibu guru. Kelak, saat saya duduk di kelas mengikuti mata kuliah Multikulturalisme-nya Pak Tomy F. Awuy, saya mulai paham bahwa itu adalah pelecehan secara kultur, kekerasan multikultural, dan pemerkosaan budaya.
Pak Tomy bercerita, pernah suatu hari Ibu Tien Soeharto memberikan bala bantuan berupa sumbangan pakaian bagi masyarakat Papua. Pakaian-pakaian tersebut dibuntel dan dilempar dari atas helicopter menuju perkampungan suku-suku di Papua. Ibu Tien saat itu merasa terpanggil untuk membantu masyarakat Papua menutup badan mereka dengan pakaian agar lebih berbudaya. Bagi masyarakat Papua yang terbiasa dengan pakaian suku mereka, hal tersebut tentunya asing.
Berkenalan dengan standar moral dan etika ala Bu Tien, mungkin bagi mereka seperti sagu diganti nasi. Sepele sih di mata si pembuat kebijakan, tapi efeknya sangat besar bagi si objek pelaku kebijakan. Secara kultur, pemerintah Orba (yang kebetulan banyak dikuasai, uhuk! Jawa) pada saat itu ingin menetapkan standar bahwa yang beretika itu adalah sesuai dengan standar mereka.
Dewasa ini, feodalisme muncul dalam wujud monopoli kebenaran dalam dunia pendidikan. Tujuan pendidikan yang awalnya ingin mencerdaskan, kini dapat mewujud dalam monopoli kebenaran yang disetir oleh dosen-dosen di ruang kelas dalam bentuk anti-kritik dan anti-debat. Tak jarang ada yang secara terang-terangan menggunakan gelar akademiknya sebagai penangkal “petir” pendapat mahasiswa ranum teori untuk memenangkan perdebatan. Sesial-sialnya mahasiswa yang kritis adalah nilai C dan dicap sebagai si-pembangkang kurang baca yang berani-beraninya mendebat beliau. Hingga sampai pada keputusan tidak lulus atau merangkak-rangkak supaya dapat C.
Dan pada akhirnya, saya sampai pada kesimpulan bahwa perguruan tinggi merupakan monarki absolut yang hakiki. Terakhir, mengutip Mbah Pram: “Dan alangkah indah kehidupan tanpa merangkak-rangkak di hadapan orang lain”.


0 komentar:
Posting Komentar