![]() |
| Sumber gambar: Pinterest |
Pernah kalian kesal dengan makhluk yang IQ-nya kalian cap 2D itu? Makhluk yang suka cocoklogi, tukang lempar fitnah kafir kepada sesamanya, makhluk yang meyakini sesuatu sebagai kebenaran mutlak, tak dapat ditawar, haqqul yaqin?
Sebenarnya, di luar dari pola pikir mereka yang mengherankan itu, mereka lebih mending daripada orang-orang yang berpendapat bahwa kebenaran itu relatif. Mereka inilah yang disebut Yasraf Amir Piliang sebagai homo ironia, makhluk ironis. Bagi manusia ironis, baik dan buruk, benar dan salah, merupakan deskripsi rombongan tertentu, di tempat tertentu dan di waktu tertentu, sehingga menghancurkan batas antara baik/buruk dan benar/salah. Dalam satu deskripsi mengatakan baik dan di deskripsi berikutnya bisa mengatakan salah di tempat tertentu dan di waktu tertentu. Manusia ironis tahu bahwa tindakannya buruk dan berdampak pada tragedy, akan tetapi agar ia bisa survive, manusia ironis mencampakkan rasionalitasnya, dan melanjutkan perbuatan buruknya dengan membangun alasan yang ilusif, berdalih, palsu, dan penuh dengan mitos. Kasusnya seperti konsumen pemutih atau pelangsing. Ia tahu tidak ada obat yang tak memiliki efek, ia tahu bahwa obat itu bisa saja mengambil nyawanya saat usia 40-an, tapi tetap diminumnya agar ia bisa survive dalam pergaulan, selamat dari bully kawan-kawannya. Ia campakkan rasionalitasnya untuk menuju keinginannya yang terbentuk oleh lingkungan, yaitu menjadi putih dan langsing.
Selain itu, kita manusia, semakin mengarah menuju fatalis. Baudrillard jauh-jauh hari sudah memperingatkan bahwa sebagai manusia yang tidak berdaya di dalam kekuasaan objek, kita mudah hanyut dalam mekanisme dan logika kita sendiri. Tanpa sadar kita terserap ke dalam logika objek, seperti logika TV, fashion, dan gaya hidup, di mana kita menjadi diam dan tidak mampu mengkritik dan merefleksi, di mana kita hanya menjadi teko tanpa saringan atau sponge yang menyerap segala sesuatu. Sering saya dibuat bingung dengan kasus anak yang menumpahkan kekesalannya di media sosial hanya karena keinginannya untuk memiliki gadget tidak dipenuhi oleh orangtuanya. Ia tanpa sadar telah dibentuk logika gaya hidup tanpa mempertanyakan seberapa butuh ia terhadap barang tersebut. Atau pola pikir yang saya alami sendiri saat memutuskan untuk tidak membuka media sosial seharian. Betapa kuat tarik-menarik antara keinginan untuk meredam dan keinginan untuk “mengetahui” apa yang orang-orang sedang lakukan via dunia virtual.
Tanpa sadar kita tidak tahu apa alasan kita untuk melakukan sesuatu. Hal-hal viral macam “Om Telolet Om” atau Mannequin Challenge bertebaran di media sosial dan menjadikan si pelaku melakukan hal yang dianggap kekinian. Tentunya alasan “seru-seruan” menjadi yang terdepan saat ditanya apa esensi dari hal-hal tersebut. Tanpa sadar kita telah memasuki dunia konsep yang telah berkembang ke arah titik fatal dan tenggelam dalam arus atau mekanisme dan logika dari alasan “seru-seruan” tersebut. Manusia dewasa ini tidak lagi mempersoalkan apakah dunia dan pola pikir yang ia genggam benar/salah, baik/buruk, etis/take tis, estetis/tak estetis. Bagi mereka, asalkan mendapat kepuasan dan gairah dari dunia tersebut—sebelum semuanya berakhir dan hancur, merupakan satu-satunya jalan yang harus dilakukannya untuk tetap eksis.
















