Minggu, 25 Februari 2018

Homo Ironia

Sumber gambar: Pinterest
Pernah kalian kesal dengan makhluk yang IQ-nya kalian cap 2D itu? Makhluk yang suka cocoklogi, tukang lempar fitnah kafir kepada sesamanya, makhluk yang meyakini sesuatu sebagai kebenaran mutlak, tak dapat ditawar, haqqul yaqin?


Sebenarnya, di luar dari pola pikir mereka yang mengherankan itu, mereka lebih mending daripada orang-orang yang berpendapat bahwa kebenaran itu relatif. Mereka inilah yang disebut Yasraf Amir Piliang sebagai homo ironia, makhluk ironis. Bagi manusia ironis, baik dan buruk, benar dan salah, merupakan deskripsi rombongan tertentu, di tempat tertentu dan di waktu tertentu, sehingga menghancurkan batas antara baik/buruk dan benar/salah. Dalam satu deskripsi mengatakan baik dan di deskripsi berikutnya bisa mengatakan salah di tempat tertentu dan di waktu tertentu. Manusia ironis tahu bahwa tindakannya buruk dan berdampak pada tragedy, akan tetapi agar ia bisa survive, manusia ironis mencampakkan rasionalitasnya, dan melanjutkan perbuatan buruknya dengan membangun alasan yang ilusif, berdalih, palsu, dan penuh dengan mitos. Kasusnya seperti konsumen pemutih atau pelangsing. Ia tahu tidak ada obat yang tak memiliki efek, ia tahu bahwa obat itu bisa saja mengambil nyawanya saat usia 40-an, tapi tetap diminumnya agar ia bisa survive dalam pergaulan, selamat dari bully kawan-kawannya. Ia campakkan rasionalitasnya untuk menuju keinginannya yang terbentuk oleh lingkungan, yaitu menjadi putih dan langsing.


Selain itu, kita manusia, semakin mengarah menuju fatalis. Baudrillard jauh-jauh hari sudah memperingatkan bahwa sebagai manusia yang tidak berdaya di dalam kekuasaan objek, kita mudah hanyut dalam mekanisme dan logika kita sendiri.  Tanpa sadar kita terserap ke dalam logika objek, seperti logika TV, fashion, dan gaya hidup, di mana kita menjadi diam dan tidak mampu mengkritik dan merefleksi, di mana kita hanya menjadi teko tanpa saringan atau sponge yang menyerap segala sesuatu. Sering saya dibuat bingung dengan kasus anak yang menumpahkan kekesalannya di media sosial hanya karena keinginannya untuk memiliki gadget tidak dipenuhi oleh orangtuanya. Ia tanpa sadar telah dibentuk logika gaya hidup tanpa mempertanyakan seberapa butuh ia terhadap barang tersebut. Atau pola pikir yang saya alami sendiri saat memutuskan untuk tidak membuka media sosial seharian. Betapa kuat tarik-menarik antara keinginan untuk meredam dan keinginan untuk “mengetahui” apa yang orang-orang sedang lakukan via dunia virtual.  


Tanpa sadar kita tidak tahu apa alasan kita untuk melakukan sesuatu. Hal-hal viral macam “Om Telolet Om” atau Mannequin Challenge bertebaran di media sosial dan menjadikan si pelaku melakukan hal yang dianggap kekinian. Tentunya alasan “seru-seruan” menjadi yang terdepan saat ditanya apa esensi dari hal-hal tersebut. Tanpa sadar kita telah memasuki dunia konsep yang telah berkembang ke arah titik fatal dan tenggelam dalam arus atau mekanisme dan logika dari alasan “seru-seruan” tersebut. Manusia dewasa ini tidak lagi mempersoalkan apakah dunia dan pola pikir yang ia genggam benar/salah, baik/buruk, etis/take tis, estetis/tak estetis. Bagi mereka, asalkan mendapat kepuasan dan gairah dari dunia tersebut—sebelum semuanya berakhir dan hancur, merupakan satu-satunya jalan yang harus dilakukannya untuk tetap eksis.   

Manusia

Sumber gambar: Pribadi
Manusia adalah makhluk lemah yang paling kompleks di muka bumi. Mulai dari raga, rupa, jiwa, semua tidak ada yang sama.  Ketika manusia yang satu sedang berpikir bagaimana memperbaiki keadaan, yang satu malahan berpikir bagaimana menciptakan keributan. Saat yang satu teriak "bersatu", maka yang satu lagi bisa teriak "bubarkan". 

Manusia itu makhluk menyedihkan di muka bumi ini. Karena merasa mengemban tugas sebagai pemilik bumi, maka ia akan berpikir keras bagaimana caranya mengeruk hingga ke tetes akhir. 

Manusia kerap berkata "aku ingin berubah" atau "tenang saja, aku sudah bukan yang dulu lagi". Saat ia mengatakan hal itu, sebenarnya ia tidak berubah sepenuhnya. Ia hanya mengubur sifatnya dalam-dalam ke dalam alam bawah sadar, yang sewaktu-waktu dapat melonjak dan menggelegak kala ia tidak stabil. Itulah mengapa kita sering melihat proses kekejaman terjadi begitu cepat, dalam hitungan menit atau bahkan detik. Bogem dapat hadir secara kilat tanpa disadari lawan. Panahan hardikan tepat menghujam hati lawan bicara. Tamparan melayang hanya menyisakan suara dan memar pada pipi. 

Saat ia mengatakan telah menyesal, maka sebenarnya ia tak terlalu menyesal. Bisa saja ia lakukan lagi apa yang disesalinya itu. Saat ia meminta maaf, bisa jadi itu hanya karena agar ia terlihat baik. Padahal sebenarnya hatinya masih mengatakan dirinyalah yang mutlak benar. 

Ah manusia....kau cipta gelapmu sedemikian rupa, kemudian kau kubur itu ke dalam jiwa terikat dengan tali, agar saat kau butuh, itu dapat kau lempar semudah angin melempar daun.

Feodal

Sumber gambar: Instagram

Saat mendengar kata “feodal”, yang ada di benak saya adalah suku Jawa. Tapi tentu tidak adil jika mengidentifikasi kata tersebut hanya mengacu pada satu suku saja mengingat sebelum menjadi Negara Republik, Indonesia terdiri dari Negara-negara kerajaan.

Menurut KBBI, istilah feodalisme memiliki tiga arti; (1) sistem sosial atau politik yang memberikan kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan; (2) sistem sosial yang mengagung-agungkan jabatan atau pangkat dan bukan mengagung-agungkan prestasi kerja; (3) sistem sosial di Eropa pada Abad Pertengahan yang ditandai oleh kekuasaan yang besar di tangan tuan tanah.

Feodalisme di Indonesia dihubungkan dengan pandangan kolot seputar hal yang berbau unggah-ungguh bangsawan keraton.  Seiring dengan banyaknya bangsa Indonesia mengenyam pendidikan, pengaruh feodalisme secara bertahap memudar. Tidak ada lagi sistem kekuasaan tradisional secara turun-temurun seperti dulu. But, hey! Kayaknya ada something missing deh mengenai ini!

Secara ga sadar, feodalisme sudah menjadi memori kolektif manusia Indonesia, di mana ada kenangan romantis ketika mengingatnya. Bahkan hal tersebut menjadi warisan budaya yang layak dilestarikan, khususnya (uhuk!) bagi orang Jawa.  Tak heran jika Indonesia modern muncul dengan rasa feodal (uhuk! Jawa) yang secara terselubung meresap dalam ranah standar moral dan etika.

Saat saya mengenyam pendidikan sekolah menengah pertama di sebuah provinsi di Pulau Jawa, saya kerap merasa tertekan dan terpojok karena harus mengikuti standar etika teman-teman yang notabene Jawa. Bagi saya yang dibesarkan di Kalimantan, berbicara dengan suara keras merupakan hal yang wajar. Akan tetapi hal itu membuat saya dicap kasar dan tidak sopan bagi teman-teman Jawa saya kala itu. Bahkan dalam sebuah forum, saat saya menyampaikan kritikan kepada teman, saya malah dikritik balik dengan dikatai kasar dalam berpendapat. “Mbok ya caranya jangan begitu. Ngritiknya ga beretika”, ujar kawan saya itu ketika saya dengan keras mengkritiknya yang suka bolos piket kamar. Dan setelah itu, tanpa harus diingatkan, saya mulai beradaptasi dengan standar etika mereka.
Awalnya sih aman-aman saja. Tapi lama-kelamaan, capek juga ternyata harus menjadi orang lain! Ibarat singa galak dipaksa lompat-lompat ala domba gemes. Menjadi sopan dengan standar etika yang berbeda dengan latar belakang kita itu melelahkan.

Memang benar etika itu penting. Akan tetapi hal tersebut menjadi bias ketika terdapat standar-standar yang dipaksakan oleh penutur dengan statusnya kepada si pendengar. Saat saya kelas 1 SD, pernah ibu guru membagi-bagikan buku PPKN yang diberikan secara gratis dari Dinas Pendidikan. Katanya, itu buku dari Jakarta. Sesampainya di rumah, dengan semangat saya buka itu buku. Di dalamnya terdapat berbagai macam tata cara, mulai dari tata cara bertamu, makan, mandi, bahkan menyeberangi jalan. Buku dari Jakarta itu benar-benar membuat saya bingung karena banyak sekali bagian-bagian yang tidak saya mengerti sehingga saya harus menanyakan kembali kepada ibu guru di kelas.

Di Bab 1: Tata Cara Bertamu, dijelaskan bahwa jika ingin bertamu harus duduk di kursi tamu dan membelakangi jendela ruang tamu. Jika ditawari minum, hendaknya menolak terlebih dahulu sambil berkata “tidak usah repot-repot” dan saat minum hendaknya tidak tandas habis melainkan disisakan sedikit air supaya tidak terlihat kehausan. Atau di Bab 4: Tata Cara Menyeberang Jalan, di mana dijelaskan jika ingin menyeberang, kita harus menyeberang di lampu merah. Bagi saya yang kala itu masih kelas 1 SD, ketentuan tata-cara tersebut membingungkan karena dalam prakteknya hal-hal yang dijelaskan dalam buku tidak lumrah bagi saya yang anak kampung ini. Di Tenggarong, Kutai Kertanegara, pada zaman itu, kursi tamu merupakan barang mewah dan jarang sekali ada yang punya. Bagi orang Kutai, saat bertamu lebih akrab jika duduk di teras atau lantai di bagian dalam rumah. Bagi orang Kutai, menolak minuman dari tuan rumah adalah sebuah dosa, apalagi tidak menghabiskannya. 

Di daerah saya kala itu pun jika ingin menyeberang, ya menyeberang saja. Jangankan lampu merah, trotoar saja masih jarang. Dalam buku tersebut begitu banyak standar-standar yang tak kami pahami sehingga harus menanyakan ulang kepada ibu guru. Kelak, saat saya duduk di kelas mengikuti mata kuliah Multikulturalisme-nya Pak Tomy F. Awuy, saya mulai paham bahwa itu adalah pelecehan secara kultur, kekerasan multikultural, dan pemerkosaan budaya.

Pak Tomy bercerita, pernah suatu hari Ibu Tien Soeharto memberikan bala bantuan berupa sumbangan pakaian bagi masyarakat Papua. Pakaian-pakaian tersebut dibuntel dan dilempar dari atas helicopter menuju perkampungan suku-suku di Papua. Ibu Tien saat itu merasa terpanggil untuk membantu masyarakat Papua menutup badan mereka dengan pakaian agar lebih berbudaya. Bagi masyarakat Papua yang terbiasa dengan pakaian suku mereka, hal tersebut tentunya asing. 

Berkenalan dengan standar moral dan etika ala Bu Tien, mungkin bagi mereka seperti sagu diganti nasi. Sepele sih di mata si pembuat kebijakan, tapi efeknya sangat besar bagi si objek pelaku kebijakan. Secara kultur, pemerintah Orba (yang kebetulan banyak dikuasai, uhuk! Jawa) pada saat itu ingin menetapkan standar bahwa yang beretika itu adalah sesuai dengan standar mereka. 

Dewasa ini, feodalisme muncul dalam wujud monopoli kebenaran dalam dunia pendidikan. Tujuan pendidikan yang awalnya ingin mencerdaskan, kini dapat mewujud dalam monopoli kebenaran yang disetir oleh dosen-dosen di ruang kelas dalam bentuk anti-kritik dan anti-debat. Tak jarang ada yang secara terang-terangan menggunakan gelar akademiknya sebagai penangkal “petir” pendapat mahasiswa ranum teori untuk memenangkan perdebatan. Sesial-sialnya mahasiswa yang kritis adalah nilai C dan dicap sebagai si-pembangkang kurang baca yang berani-beraninya mendebat beliau. Hingga sampai pada keputusan tidak lulus atau merangkak-rangkak supaya dapat C.

Dan pada akhirnya, saya sampai pada kesimpulan bahwa perguruan tinggi merupakan monarki absolut yang hakiki.  Terakhir, mengutip Mbah Pram: “Dan alangkah indah kehidupan tanpa merangkak-rangkak di hadapan orang lain”.

Review Film: The Jungle Book



Haru. Itu satu kata yang tepat untuk menggambarkan film besutan Disney ini. Setelah disuguhi trailer yang dramatis, saya pun penasaran untuk menonton film ini. Film yang disutradarai oleh Jon Favreau ini merupakan versi terbaru dari film yang berjudul sama.

Pada pembukaan film, Mowgli si anak manusia, sedang berlomba adu cepat dengan saudara-saudara serigalanya dan seekor black panther yang bernama Bagheera. Di awal cerita Mowgli digambarkan sebagai anak manusia yang serba salah karena tidak sama seperti kawanan serigala lainnya yang larinya cepat, mengaum dengan nyaring, dan minum dari mulut. Ia adalah satu-satunya anak manusia di hutan yang dibesarkan oleh seorang serigala betina yang bernama Raksha dan Akela, sang pemimpin gerombolan yang bijak. Maka jadilah Mowgli, "si serigala yang berjalan dengan dua kaki" di mata para binatang di hutan.

Mowgli secara alami pun menggunakan kemampuan otaknya untuk mengambil minum dengan wadah atau membuat tali dari akar-akar pohon. Adalah Bagheera yang selalu menjaga Mowgli agar aman dari serangan Shere Khan, harimau Bengal yang begitu benci pada manusia, termasuk Mowgli. Saat musim kemarau tiba, Shere Khan mengintai Mowgli yang sedang minum bersama para hewan lainnya di danau. Otomatis kawanan serigala pun membentuk benteng untuk melindungi Mowgli. Di hadapan Raksha, pemimpin kawanan serigala, Khan mengultimatum akan memburu Mowgli saat kemarau usai dan barang siapa ada binatang yang ingin menghalangi akan dihabisinya.

Bulan demi bulan pun berlalu, musim kemarau telah usai, dan kawanan serigala kerap berdebat apakah Mowgli patut dilindungi atau tidak mengingat ia sebenarnya bukanlah serigala walaupun sejak bayi telah dirawat dan dijaga oleh kawanan. Raksha yang begitu menyayangi anak manusianya bersikeras ingin melindungi Mowgli walaupun ia harus mati. Saat itu Mowgli mendatangi kawanan serigala yang sedang berdebat dan mengajukan diri untuk keluar dari kawanan. Untungnya ada Bagheera yang mau berkorban untuk mengantarkan Mowgli kembali ke wilayah manusia.  Mowgli dipaksa untuk kembali ke jati dirinya yaitu seorang manusia. Dan petualangan pun dimulai dalam perjalanan dari rimba ke perkampungan manusia.

_______

Film The Jungle Book ini menurut saya layak ditonton segala umur dan dapat menjadi media pembelajaran mengenai pelestarian hutan dan binatang. Karena yang dipakai adalah sudut pandang para binatang, film ini terasa arif dan mengagumkan. Ia mengajarkan bahwa jadi manusia janganlah gegabah dan sombong. Adegan-adegan yang ditampilkan pun tidak tanggung-tanggung seperti mencakar, menancapkan kuku saat berkelahi, menerkam, memanjat tebing, dan lain-lain. Anak-anak yang hidup di perkotaan saat melihat apa yang dilakukan Mowgli tentu menahan nafas saat ia hampir terinjak kerumunan bison atau saat Mowgli memanjat tebing untuk mengambil madu.

Dalam film ini tokoh favorit saya justru Share Khan. Dalam beberapa scene, Khan sering muncul dalam cara yang mengejutkan dan mengerikan. Ia terlihat begitu hidup. Scene saat Khan muncul begitu smooth dan detail.

Share Khan
Ada pesan yang saya tangkap dalam film ini, yaitu manusia adalah binatang yang paling lemah di antara primata yang lain. Karena otaknya yang besar, ia oleh alam "dihukum" menjadi lambat pertumbuhannya. Tapi walaupun begitu,  justru dengan akal manusia dapat bertahan hidup dan beradaptasi.

Selain itu,  film ini juga mengangkat isu eksistensialisme di mana Mowgli bersikeras bahwa ia adalah bagian dari rimba hutan walaupun ia manusia.  Ia tidak ingin kembali ke perkampungan manusia yang tidak dikenalinya dan lebih memilih tinggal bersama binatang.

Jadi, walaupun film ini menceritakan tentang isi rimba, tapi inti dari cerita ini adalah manusia.

Pemikiran Kembali Tentang Penggunaan Media Sosial

Dewasa ini, sulit untuk membayangkan hidup tanpa teknologi informasi. Usaha untuk mendapatkan peranti-perantinya pun dilakukan guna memenuhi kebutuhan tersebut. Bisa dibilang bahwa kebutuhan masyarakat akan dunia citra visual (visual image) semakin meningkat dan merubah cara berkomunikasi.

Halusinasi dan Kejutan Gelombang


Sumber gambar: Google

Platform media sosial merupakan salah satu wadah untuk menampilkan citra visual seseorang atau sesuatu. Facebook, Instagram, Snapchat, Twitter, dan media sosial lainnya adalah pembentuk imaji/citra tentang realitas pada titik tertentu agar dianggap sebagai sebuah realitas itu sendiri, yang tak lain hanyalah fatamorgana dan fantasmagoria.

Ambil contoh kasus Afi "Agama Warisan" yang sempat viral di Facebook. Citraan (image) Afi dibentuk dengan status-statusnya yang terkesan cerdas dan menggelitik berbagai kalangan dunia maya. Status facebook menjadi signifier untuk image Afi dan berdasarkan persepsi orang yang melihat statusnya dikaitkan dengan sebuah penanda (signified), yang berupa konsep atau makna di baliknya, misalnya cerdas, liberal, out of the box, keren, dan lain-lain. Penampakan visual Afi telah menggiring beberapa netizen pada sebuah (atau beberapa) konsep, padahal konsep yang ada di benak netizen-netizen tersebut tidak menunjukkan realitas yang sesungguhnya. Dengan kata lain, netizen telah berfatamorgana akan sosok Afi yang diinginkannya. Dan ketika kasus plagiat yang dilakukan Afi mencuat, terbukti banyak pihak yang termakan oleb empty signifier yang dicitrakan oleh Afi selama ini.

Fantasmagoria adalah kondisi ruang waktu, yang di dalamnya manusia dikendalikan oleh waktu. Kesadaran dan perhatian manusia dicetak oleh rangkaian peristiwa, citraan, dan representasi di dalam ruang dengan durasi yang semakin sempit. Ini menyebabkan semakin sempit pula ruang bagi kegiatan berpikir, berfilsafat, merenung, menggunakan akal sehat, merangkai makna, dan menyusun strategi.

Media sosial adalah wadah untuk memerangkap durasi percepatan. Gosip hangat, peristiwa mencengangkan, dan video lucu dapat "diperangkap" dan diabadikan dalam media sosial. Pengguna media sosial akan sulit untuk keluar dari tekanan perangkap tersebut sehingga mereka kehilangan makna dari relaksasi dan rethinking. Saat seseorang telah terperangkap sepenuhnya, sulit baginya untuk merangkai makna dari sebuah peristiwa yang terjadi. Durasi pengetahuan (visi, konsep, rencana, strategi, program) tidak secepat durasi percepatan (peristiwa, laporan, berita). Semakin banyak informasi yang masuk ke dalam kepala,  maka semakin tinggi tingkat tekanan (tension) seseorang.

Kalau menurut Yasraf Amir Piliang, manusia Indonesia telah terjebak di dalam jaringan  fantasmagoria, tetapi tidak mampu mengembangkan kesadaran baru dan pengetahuan baru darinya, menuju perubahan ke arah bangsa yang lebih beradab.

Dalam hal ini, ambil contoh kasus akun gosip LT di Instagram.  Mulai dari video viral pelakor, postingan artis marah-marah, hingga berita-berita yang sebenarnya bersifat dangkal, ada dalam akun tersebut. Satu persatu kejutan informasi (viral) dihadirkan, kemudian lenyap ditelan gelombang kejutan-kejutan  informasi yang lain. Gelombang-gelombang tersebut bagai candu; membuat tidak sadar dan tidak menentu arahnya apakah membuat bangsa ini menjadi lebih baik atau tidak. Apakah dengan komentar-komentar kejam netizen, bangsa ini akan menjadi bangsa yang lebih baik? Apakah postingan-postingan bertendensi bully berikut dengan bully-annya menunjukkan kalian adalah manusia yang lebih baik? Mari pikirkan kembali.

Media Sosial = Media untuk Bersosialisasi?



Sumber gambar: Pinterest


Apakah jargon media sosial sebagai salah satu tempat untuk bersosialisasi dan "keep in touch" itu benar adanya?

Dalam bermedia sosial, seseorang memposting sesuatu untuk dilihat, pun dikomentari. Alasan kuno "taruh di medsos supaya gak hilang" merupakan apologi yang bersifat narsistik. Ada pilihan fitur "seen or unseen", juga "arsipkan" jika kita tidak ingin postingan tersebut terlihat publik. Jadi dalam hemat saya, media sosial mengamini sifat narsistik seseorang untuk melanggengkan eksistensinya.

Ada dua titik yang bertolak belakang dalam bermedia sosial.
Satu, platform yang digunakan adalah untuk menjaring pemilik akun yang kita kenal, telah kita kenal, atau yang ingin kita kenal, untuk mengetahui apa yang mereka perbuat, apa yang mereka pikirkan, apa yang ada di sekitar mereka untuk kita ketahui sebagai seorang individu. Tidak dipungkiri, kadang saat kita follow atau add sebuah akun, kita memiliki tujuan lebih dari keep in touch atau get to know. Bisa jadi untuk komparasi. Bisa jadi untuk tolak ukur kesuksesan. Bisa jadi untuk monitoring. Who knows?

Dua, media sosial juga dapat membuat orang merasa diabaikan. Tidak sedikit yang menjadikan aktifitas membuka media sosial sebagai daily activity. Dan tidak sedikit juga yang put efforts untuk "diakui" keberadaannya di media sosial. Misalnya, bela-belain masuk nerabas padang ilalang yang kemungkinan besar ada ular yang sedang bobo siang, hanya untuk mendapat foto yang aduhay. Atau komentar di setiap postingan teman-teman. Mengabaikan tanggapan, tidak membalas pesan atau komentar, dapat membuat yang bersangkutan merasa tertepi. Apalagi dalam dunia citra, eksistensi adalah segalanya. Jadi tidak heran jika ada pengguna media sosial yang merasa sepi dalam keramaian dan merasa ramai dalam sepinya.

Kebahagiaan individu pengguna media sosial adalah dilihat, disukai, dan dikomentari. Perhatian dari publik tentang apa yang diposting pengguna media sosial ibarat bensin sebagai bahan bakar. Karena tentang itulah orang bermedia sosial.

Selasa, 20 Februari 2018

Review Film: Black Panther (2018)

Sumber: Google

Sebuah meteor yang mengandung vibranium jatuh di Afrika. Materi ini sangat kuat, bahkan diklaim sebagai yang terkuat sehingga diperebutkan dan menyebabkan peperangan antar suku. Hingga akhirnya Dewi Bash (lewat tanaman yang mengandung vibranium) memberi berkat kepada Bashenga, seorang prajurit untuk menyatukan lima suku yang berperang tadi menjadi sebuah negara yang bernama Wakanda.

Berkat vibranium, Wakanda dapat menciptakan peralatan teknologi secanggih alien. Mereka dipimpin oleh seorang raja yang menyandang kekuatan Black Panther. Akan tetapi, karena ketakutan akan ancaman peperangan dan kehancuran, Wakanda memilih untuk mengisolasi diri dari dunia internasional. Wakanda menampilkan diri sebagai negara Third World Country yang kering, miskin, dan jauh dari kata modern.  

Setelah Raja T’Chaka mati dalam film Civil War, putranya T’Challa menggantikan posisinya sebagai King of Wakanda a.k.a Black Panther. T’Challa harus menjalani beberapa ritual sebelum menjadi raja. Acara ritual berjalan lancar, walaupun ada satu suku yang menantang , tapi overall T’Challa tetap memegang kendali tanpa harus membunuh penantangnya.

Nun jauh di luar Wakanda, ada seorang pria yang hot MasyaAllah yang membantu Ulysses Klaue (Age of Ultron) untuk mencuri dan memperjualbelikan secara ilegal artefak-artefak ber-vibraniumnya Wakanda. Sambil menyelam minum air, Abang Black Panther pun bersama timnya mengusut transaksi tersebut, sekalian ingin bertemu dengan tersangka penyebab kematian ayahnya.

Ternyata misi T’Challa semakin melebar saat mengetahui kebenaran yang disembunyikan Raja T’Chaka semasa hidupnya. Tugas T’Challa pun semakin berat karena ia harus menyelesaikan segala permasalahan sambil melihat kembali  sejarah Wakanda.



Killmonger: The Villain That Steals The Show


Sumber: IMDB

Selama mengikuti film-film MCU, saya merasa tidak ada celah di mana saya akan tertarik pada villainnya. Tapi baru kali ini saya begitu tertarik pada Erik Killmonger, yang diperankan dengan sangat baik oleh Michael B. Jordan. Saat Killmonger berdiri di depan etalase koleksi museum, siapa yang menyangka ia akan menjadi penjahatnya?

Killmonger adalah penjahat yang paling realistis nan humanis. Kenapa? Killmonger membunuh dengan alasan bahwa para minoritas telah tertindas dalam waktu yang lama dan Wakanda hanya diam saja menyaksikan kaum mereka menderita sementara mereka hidup nyaman dengan teknologi super canggih. Beralasan banget kan kebenciannya?

Mungkin karena saya sudah dijejali dengan sejarah perbudakan kulit hitam dan film-film bertemakan rasialis, maka saya pun menggumamkan “yes” untuk Killmonger saat adegan T’Challa dibunuh dan dibuang ke dasar air terjun.

Michael B. Jordan dalam menampilkan Killmonger sangat pas dan rapi. Sorot matanya yang penuh kebencian namun cool, membuat karakternya begitu kuat, bahkan melebihi Chadwick Boseman sebagai T’Challa. Dilengkapi dengan badan yang Subhanallah, Jordan sungguh mencuri perhatian dalam setiap adegan.

So, thank’s to Killmonger, karena karakter T’Challa yang filosofis nan membosankan itu tergali dengan baik berkat keberadaan Killmonger yang memaksanya untuk kembali melihat ke belakang; keluarganya dan sejarah Wakanda.   


Badass Female Warriors


Selain Killmonger, yang mencuri perhatian dalam film ini adalah para pejuang perempuan.

Ada Nakia (diperankan Lupita Nyong’o), seorang mata-mata yang bertugas di luar Wakanda. Dalam film ini, begitu terlihat bahwa akting Nyong’o telah mengalami banyak kemajuan setelah 12 Years Slave. Looknya yang manis dan natural, kostum yang keren dan fighting scenes membuatnya patut untuk dijuluki African’s Sweetheart.

Ada Okoye (Danai Gurira), Sang Jenderal, pemimpin pasukan elit Dora Milaje yang isinya perempuan semua. Okoye adalah pengawal setia kerajaan. Dengan tombaknya, ia mampu bertarung dengan keren tanpa terluka. Okoye sangat mencintai Wakanda, ia rela membunuh kekasihnya jika perlu. Saking meyakinkannya akting Gurira, sampai-sampai saya merasa bahwa Wakanda does exist karena semangat juangnya berasa sekali.

Shuri (Letitia Wright), adik T’Challa yang juga seorang ilmuwan hebat Wakanda. Ia membantu T’Challa mengembangkan teknologi untuk memajukan dan melindungi Wakanda. Menurut saya keberadaan Shuri juga sangat penting dalam film ini karena hubungan kakak-adik yang ditampilkan menambah sisi down to earth bagi T’Challa.


Showing Off The Black Beauty

Oke, lupakan fighting scene ala Marvell. What I love the most about this movie is their details on the tribe’s things. Kostum, paduan warna, corak-corak yang ditampilkan, and the black beauty of course! Futuristik sekaligus tradisional. Afrofuturism, they said. Perancang kostum film ini, Ruth E. Carter bersama timnya yang berjumlah 100 orang lebih memastikan bahwa kostum yang ia ciptakan untuk Wakanda adalah sebuah bentuk penghormatan kepada Afrika. Ia mengambil beberapa referensi langsung dari berbagai suku di seluruh wilayah di Afrika.

Contohnya, topi (mahkota) yang dikenakan Ramonda, ibu T’Challa yang terinspirasi dari perempuan-perempuan Zulu yang sudah menikah. Kalung manik yang dikenakan Okoye dan mostly prajurit perempuan Dora Milaje yang terinspirasi dari suku Maasai. Neck ring yang dipakai Okoye terinspirasi dari suku Ndebele. Wardrobe serba hijau yang dikenakan Nakia, terinspirasi dari suku Suri. Jadi dapat dikatakan bahwa kostum dan segala pernak-pernik besar maupun kecil merupakan simbol dari keseluruhan Afrika. Thank's to Ruth!

Sumber: Google

Sumber: Google

Sumber: Google

Para cast pun ditampilkan dalam rambut natural mereka. Tidak ada “paksaan  kulit putih” dalam film ini. Afrika patutlah bangga dicitrakan dengan arif sekali dalam film Black Panther ini.

Satu kalimat untuk film ini. This time’s for Africa! Tsamina mina  e e waka waka e e


Jumat, 16 Februari 2018

My Opinion: Social Media Problems

Sumber Gambar: Google

Yesterday, i was distracted by my friend who did a live instastory while she was working as civil servant. On that live instastory, she was just laughing with her friends and talking about something that didn't related with her job. And she does it almost everyday.

Other cases. My friends saved on old grandpa during a traffic accident. Instead of  helping him, the people around took their mobile phones to captured the accident. They were busy with "sharing" their sympaty on social media, but forgot to acted in the real life.

What the heck is going on with these people nowadays?
Why this platform turning people into a narcisstics and egomaniac?
Why people nowadays like of being hyperbolic on a small "garbage" things and being ignorant on the important things?
Is that a human nature?


Social Media is So Addictive

Harvard University's recent study says the evidence of social media platforms such as Facebook, Twitter and Instagram are so popular and highly addictive for many people. We can start from the question: why people nowadays really love to share anything like their thoughts or actions on social media?

Well, through some of experiments, the researchers found that if someone disclosing information about oneself, it will activate the same part of the brain which is connected with the sensation of pleasure; food pleasure, money pleasure and sex pleasure. So our brain considers that self-disclosure to be precious experience.

The subjects of the experiments asked by researchers with some questions about their opinion and other's opinion, and they were hooking up to an MRI machine. The results showed that the brain's region which asociated with reward were strongly activated when the subjects were talking about themselves. When they were talking about someone else, it were less activated.

That's the reasons why we see people walking and sitting with their heads bowed down, looking at their phones. They need a validation of themselves.

Comparing Yourself to Others Online (Socmed Envy)

Here we are, in the age of internet which is full of images and people. Like’s button is available to touch and your thought can be writen in the comment’s section as  fast as your thinking, whenever and wherever.

For example, on Instagram. There is an impressive profiles that display wealth, luxury, romance, adventure, that can make us enviously comparing our life. “Wow, they go everywhere”, “They have so many friends who often hang out”, “Well, I think she has the best life”, or “How lucky he is”. And what is your feeling after seeing all those things?

You may be left feeling “Arggh, why my life’s so boring?” or “I’m a loser” or “ I hope I can post a good thing same as she did”. Well, be careful, because you comparing your life to a life that you’ve seen on social media, not in a real life.

For an example: You saw someone’s Instagram feed who has a wonderful picture out of there. It seems she had so much fun and her life’s just perfect. But who knows about her real life? No true words have been spoken than that of social media. What it seems is not like that. Some people will never, ever totally honest. Filters for perfect looking, anyone?

Distracting

How many times a day do you check your phone next to your book?

Tweeting, updating on Facebook, or scrolling on Instagram when you are working or study, makes you unproductive.  Our attention full of buzz, ping, beep from our phones, social media platforms, and other gadgets. This is so distracting when we have to doing something in real life.

 When we search for anything online, we typically have to sift through pages of information, some of’em are relevant but most not. And we often bump into something that’s not associated with what we’re looking for. And we often repeat this pattern many times.

For example: I wanted to know about The Good Doctor’s cast name, dr. Kallu. And I found his name is Chukuma Modu. But then I bumped into a curiousity  about his filmography and even his life. There we can start a fangirling-in someone.


Some people forget to be gratefull for their life. Instead of enjoying their meal, scenery or the present of someone, they just scroll through their social media. Social media is such a dominant part of our modern society nowadays.

Learn

We learn....
10% of what we read.
20% of what we hear.
30% of what we see.
50% of what we see and hear.
70 % of what we discuss.
80% of what we experience.
95% of what we teach to others.


(William Glasser)

Jumat, 02 Februari 2018

Tantangan



Saat mental sedang jatuh, saya selalu yakin Tuhan punya opsi untuk kita pilih. Menyerah dan menjadi apa yang dipikirkan orang lain atau keep goin dan menjadi apa yang kamu inginkan. Maksa sih.

Kalau sedang insomnia di tengah malam begini, saya suka merenung atau lebih tepatnya merefleksikan apa-apa yang pernah terjadi dalam hidup saya dari saya kecil sampai sekarang. I'm only human and human always have a space to regret something. Ada beberapa part dalam hidup yang jika saya lihat ke belakang membuat saya kesal sendiri kenapa dulu tidak begini atau begitu. Apa yang saat ini saya emban dan dapat, mungkin karena sifat maksa saya sama Tuhan tentang keinginan saya. Ya! Saya selalu berdoa atas apa yang saya mau, bukan apa yang terbaik buat hidup saya.

Sampai sekarang saya masih tercengang dengan lolosnya saya di kampus saya dulu. Saya tidak menyangka belajar keras dengan kemauan yang kuat, dibarengi dengan ritual-ritual setiap tengah malam, membuat saya diterima di kampus terkenal itu. Tidak tanggung-tanggung, saya diterima di dua kampus negeri jalur reguler dan tiga kampus swasta jalur beasiswa.

Padahal ada masalah paling besar yang menanti, yaitu jurusan yang saya ambil benar-benar hal yang asing bagi saya. Saya harus belajar dari nol, basic, piyik atau apalah. Mungkin karena terlalu excited dengan kehidupan mahasiswa, saya tidak terlalu peduli dengan nilai dan IPK saya. Saya asyik berorganisasi, mengajar, menjadi koordinator lapangan, menulis artikel, ikut seminar-seminar filsafat, nonton teater, dan banyak hal. Saya merasa benar-benar berada di safety zone dan sudah menyelesaikan perjuangan masuk kampus bergengsi di Indonesia. Ah, kadang saya pikir betapa naifnya saya dulu.

Imbasnya adalah saat itu saya benar-benar dilema setiap saat menunggu nilai di SIAK-NG keluar. Setiap semester, saya sering berdiskusi untuk mengundurkan diri dari kampus dan mencari kampus lain, kemudian memilih dan belajar hal yang saya sukai. Tapi lingkungan di sekitar saya selalu mendorong untuk tidak menyerah pada keadaan, walaupun nilai saya di ujung tanduk. Banyak pihak-pihak yang menyayangkan jika saya keluar. Dengan selalu mempertimbangkan banyak hal, termasuk usia, biaya, keluarga, dan moral, saya terus bertahan sampai titik akhir. Jadilah saya kuliah 5,5 tahun di mana jatah maksimal adalah 6 tahun.

Karena saya mempelajari apa yang tidak saya sukai, mau dipaksa seperti apa pun juga tetap tidak akan suka. Maka saya bertekad saat mengambil program Master, akan memilih jurusan yang benar-benar saya suka, jurusan yang mana saat saya lelah pun saya dengan hati mempelajarinya.

Dan masalahnya balik lagi yaitu IPK saya yang tidak tinggi. Entah, apa rencana Tuhan untuk saya.
Sejak kecil saya seringkali harus berusaha keras sekali untuk mendapatkan sesuatu. Kali ini mungkin juga. Mungkin supaya saya tidak jadi manusia yang cepat puas dan sombong kali ya.

Yaudah deh, makasih han! Saya terima tantangan-Mu lagi, sama seperti saat saya menantang diri saya supaya bisa masuk UI.

Bismillah.